JAKARTA (IndoTelko) – Ombudsman Republik Indonesia akan memantau proses konsultasi publik untuk Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Nomor 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit dan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi yang dilakukan Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mulai tanggal 14 November hingga 20 November 2016.
“Inisiatif ini (konsultasi publik) baik, dan memang seharusnya begitu. Namun waktunya terlalu singkat untuk sebuah peraturan yang berdampak luas dan berjangka waktu panjang. Khawatirnya dianggap sekedar formalitas nanti,” tukas Komisoner Ombudsman RI, Ahmad Alamsyah Saragih dalam pesan singkatnya kepada IndoTelko, Senin (14/11).
Alamsyah mengakui tidak ada ketentuan yang baku soal waktu konsultasi publik, tapi mungkin baik jika diberikan waktu 14 hari kerja. Ada yang juga cukup penting selain waktu, semua masukan dikompilasi dan dijelaskan mana yang diterima, baik sebagian atau seluruhnya, dan mana yang tidak. “Termasuk juga alasan mengapa diterima dan mengapa tidak. Ini standar universal dalam uji publik,” katanya. (
Baca:
Polemik revisi PP)
Diingatkannya, Kementerian kumham telah menyiapkan rancangan peraturan menteri tentang tata cara konsultasi publik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. (
Baca:
Kisruh PP)
“Meski belum ditandatangani oleh menkumham tidak ada salahnya jika bisa dipelajari dan coba dilaksanakan. Niat baik biasanya tidak memerlukan paksaan. Nanti kalau ada yang lapor, sudah kewajiban Ombudsman untuk tangani laporan masyarakat. Kami akan tindak lanjuti,” tutupnya.
Secara terpisah, Direktur Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi (LPPMI) Kamilov Sagala menilai konsultasi publik yang dilakukan Kominfo seperti mementahkan opini yang dibangun Kementrian tersebut selama ini. (
Baca:
Draft Revisi PP)
“Anda kan dari Media Massa. Saya lihat IndoTelko.com paling konsisten beritakan kasus ini sejak merebak Juni 2016. Coba itu baca pernyataan mulai dari Menkominfo hingga PLT Humas-nya, katanya sudah konsultasi publik dan semua pihak diajak rembuk. Kenapa sekarang ada lagi konsultasi publik? Ini saja bikin bingung,” tukas Pria yang akrab disapa Bang Kami itu.
Dalam pandangan Bang Kami, jika pun akhirnya digelar konsultasi publik yang hanya singkat tak akan bisa memuaskan kegelisahan publik. “Kami dari dulu minta buka dong itu draft, apa sih susahnya tinggal unggah saja kayak sekarang. Ini kita sesama pelaku usaha dan pengamat dihadap-hadapkan ribut di media massa karena tak jelas dari kemarin yang dibahas. Ini benar-benar melukai perasaan civil society,” gelisahnya. (
Baca:
Babak baru revisi PP)
Bang Kami pun melihat ruang untuk menerima revisi dari RPP sangat minim karena dari bahasa hukum memang harus berjalan keinginan dari pemerintah yakni network sharing dan frekuensi pooling.
“Banyak kata wajib dan ada aturan yang menjaganya setiap pasal tersebut melalui keputusan menteri. Terkesan memang ini proses business to business (B2B), padahal ada pemerintah masuk terlalu dalam urusan B2B,” sesalnya.
Ditambahkannya, dalam revisi PP tersebut peran pemerintah menjadi kabur antara wasit atau pemain, sehingga layak dikoreksi. “Kami tengah telaah lebih dalam dan akan berikan masukan. Kita harap ada klarifikasi dari pemerintah nantinya jika kita kirim masukan, ini sesuai dengan aturan dalam konsultasi publik yang ada. Kalau tak ada dialog, bubar saja ini konsultasi publik, langsung sign saja bos,” pungkasnya.
Rugikan
Sementara Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu Arief Poyuono menegaskan revisi PP 52 dan 53 tahun 2000 mengancam kedaulatan NKRI. Karena spektrum frekuensi radio merupakan sumber daya alam terbatas yang seharusnya dikuasai negara menjadi dikuasai asing.
“Revisi kedua PP tersebut memang akan menarik asing untuk berinvestasi untuk merampok ‘kue’ ekonomi Indonesia. Menggunakan modal kecil untung besar caranya dengan mempengaruhi pengambil kebijakan pemerintah untuk membuat dan merevisi regulasi yang menguntungkan asing dan mematikan usaha korporasi lokal,” katanya.
Menurutnya, jika revisi PP direalisasikan dapat merugikan BUMN sektor telekomunikasi yang telah mengeluarkan investasi besar untuk membangun jaringan telekomunikasi dengan nilai kerugian dalam 5 tahun mencapai Rp 200 triliun.
"Dengan kerugian BUMN, maka kerugian negara akibat revisi PP 52 dan 53 mencapai Rp 100 triliun dalam 5 (lima) tahun,” jelasnya.
Selain merugikan BUMN dan negara, revisi PP 52 dan 53 juga berdampak buruk bagi masyarakat khususnya di wilayah non-profit, karena tidak terpenuhinya hak masyarakat terhadap akses telekomunikasi.
“Ketentuan dalam revisi PP 52 dan 53 bertentangan dengan Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (UU 36/1999), sehingga jika dipaksakan akan batal demi hukum melalui judicial review,” pungkasnya.(id)