JAKARTA (IndoTelko) – Federasi Serikat Pekerja BUMN Strategis (FSP BUMN Strategis) kembali menegaskan sikapnya untuk menolak Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah no 52 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan RPP no 53 Tahun 2000 Tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit.
FSP BUMN Strategis beranggotakan SPP PLN, SP PJB, PP Indonesia Power Sepakat Telkomsel, Sekar Telkom dan Ikatan Awak Kabin Garuda.
“Setelah kami pelajari, FSP BUMN Strategis menyatakan menolak RPP No 52 dan 53 Tahun 2000. Kami meminta Kementerian Kominfo menghentikan dan membatalkan proses perubahan kedua PP,” tegas Ketua Umum FSP BUMN Strategis Wisnu Adhi Wuryanto dalam keterangannya, Senin (21/11).
Menurutnya, uji publik terhadap materi kedua RPP dengan waktu yang sangat singkat sehingga kurang memberikan peluang bagi masyarakat luas untuk memberikan masukan dengan kajian yang lebih lengkap.
“Uji Publik dengan waktu yang singkat ini terkesan hanya bentuk formalitas dalam rangka memenuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku,” ketusnya.
Dalam kajian FSP BUMN Strategis, secara keseluruhan, Perubahan kedua PP tersebut melampaui batas-batas dan cenderung bertentangan dengan Undang Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi.
“Perubahan PP Nomor 52 Tahun 2000 dan Perubahan PP 53 tahun 2000 akan mubazir karena pada saat diberlakukan termasuk masa transisinya beririsan dengan pembahasan RUU Telekomunikasi yang baru, yang telah diprogramkan oleh Kementerian Kominfo pada tahun 2017,” katanya.
Analisis dampak
FSP BUMN Strategis menganalisa jika diteruskan prosesnya , pada saat diimplementasikan dapat menimbulkan hal hal sebagai berikut:
1. Untuk daerah daerah pinggiran dan tidak produktif, Rancangan perubahan kedua PP tersebut ternyata hanya membuat Jaringan yang telah dibangun oleh BUMN sektor Telekomunikasi ditumpangi oleh operator-operator asing tanpa kepastian jaminan pengembalian investasinya. Hal ini akan berakibat operator enggan/malas membangun didaerah yang belum dilayani atau daerah yang tidak layak secara bisnis, sehingga pada akhirnya akan kontra produktif dengan makna butir 3 Nawacita, dimana "Pemerintah akan membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah daerah desa dalam kerangka negara kesatuan".
2. Untuk daerah-daerah lucrative dan perkotaan Rancangan Perubahan kedua PP tersebut akan mengakibatkan persaingan yang tidak sehat karena sharing antara dua atau tiga operator dapat mengakibatkan terjadinya pooling frekuensi, pooling sumber daya alam terbatas, kondisi ini akan sangat berbahaya kalau frekuensi sharing dilakukan oleh operator operator asing, kedaulatan frekuensi akan jatuh ke Asing.
3. Penguasaan frekuensi oleh sekumpulan operator asing berpotensi untuk menghambat terwujudnya kemandirian ekonomi dengan menggunakan sektor sektor strategis ekonomi (Nawacita no7) yang saat ini di dunia telekomunikasi telah mulai dilakukan oleh BUMN di Sektor Telekomunikasi.
“Tak hanya itu, dalam RPP no 52/2000 kami dapati adanya pemberian kewenangan kepada Menteri Kominfo yang terlalu berlebihan. Diantaranya adalah kewenangan Menteri Kominfo untuk campur tangan dalam urusan B to B operator telekomunikasi. Kewenangan dimaksud tidak sesuai dengan prinsip kebebasan berkontrak antarentitas bisnis,” ungkapnya.
Masih menurutnya, kewenangan tersebut mengabaikan realitas di industri bahwa network telekomunikasi yang ada merupakan hasil dari pembangunan oleh BUMN dan swasta, bukan dibangun dari oleh Pemerintah melalui APBN (kecuali Proyek Palapa Ring).
“Jika Network sharing dan Frekuensi Sharing harus dilakukan demi percepatan layanan alangkah bijak jika network sharing dan frekuensi sharing diarahkan untuk daerah yang belum terlayani dan daerah secara bisnis tidak menguntungkan jika dibangun oleh satu operator, dengan tetap memperhitungkan investasi yang telah dikeluarkan oleh operator yang lebih dulu membangun di daerah tersebut. Hal tersebut cukup dilakukan dengan menyisipkan satu ayat tambahan dalam PP 52 tahun 2000 dan PP 53 tahun 2000,” katanya. (
Baca:
Kisruh revisi PP)
Disarankannya, pemerintah agar lebih fokus untuk menyelesaikan pembangunan jaringan skala besar palapa ring wilayah barat dan wilayah timur yang diyakini oleh kementerian kominfo akan menyelesaikan permasalahan kesenjangan layanan broabdband.network. “Kita dorong juga secepatnya dilakukan pembahasan perubahan UU Nomor 36/1999 tentang Telekomunikasi terlebih dahulu sebelum merevisi kedua PP ini,” tutupnya. (
Baca:
Draft Network Sharing)
Sebelumnya, Kominfo membuka secara resmi draft Rancangan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit dan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi. (
Baca:
Panas di revisi PP)
Uji publik yang diharapkan sebagai upaya memberikan transparansi dan meredam gejolak, ternyata malah makin meningkatkan tensi tinggi penolakan di media massa terhadap rancangan aturan itu.(id)