JAKARTA (IndoTelko) – Indonesia dinilai belum mengalami darurat berita bohong (Hoax) sehingga pemerintah tak perlu beraksi terlalu keras dan represif menghadapinya.
“Terlalu berlebihan itu dibilang sampai darurat Hoax. Ini kita sedang mengalami euforia demokrasi di ranah digital. Biarin sajalah semua berjalan dan belajar,” saran Anggota Komisi I DPR RI Effendi Simbolon dalam sebuah diskusi, Sabtu (7/1).
Menurutnya, saat ini ada fenomena baru yang terjadi, dimana semua orang bisa bersuara dan berperilaku layaknya partai politik (Parpol) di dunia maya. “Ini ada fenomena baru di dunia maya dimana semua orang bisa menyuarakan aspirasinya. Di negara lain ini juga terjadi dan mereka sudah lewati turbulensinya. Nah, kalau di Indonesia saya lihat penguasa terlalu bereaksi, harusnya pemerintah rileks saja hadapi fenomena ini. Harusnya seperti orang pacaran, satu lagi kenceng, satunya santai saja,” tuturnya.
Diingatkannya, pemerintah tak bisa mengatur hubungan atau interaksi sosial warga negaranya, karena di negara yang menganut paham komunis seperti Tiongkok bisa lebih elegan menghadapi turbulensi dari media sosial.
“Jangan digunakan terminologi sedikit-sedikit ingin mengatur dan perizinan. Itu namanya reaktif dan panik. Kalau semua mau diatur itu namanya rakyatnya tak memiliki kedaulatan. Semua diatur, itu namanya hubungan warga negara dengan pemerintah seperti tuan dengan pekerja,”sindirnya.
Ditambahkannya, sebenarnya sebagai rambu-rambu di dunia maya sudah cukup dengan adanya Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
“Di UU ITE kan delik aduan, kalau tak suka itu difasilitasi (proses hukum). Kecuali kalau untuk sesuatu yang mengancam kedaulatan negara, wajar pemerintah masuk, dan itu semua ada parameter yang jelas. Kenapa pemerintah ikut campur urusan hubungan publik? Biarkan saja semua berinteraksi. Dunia maya itu sudah menjadi hiburan bagi masyarakat dari kepenatan sosial,” tegasnya.
Tata kelola
Pada kesempatan sama, Anggota Komisi I DPR lainnya, Sukamta meminta pemerintah untuk membuat aturan yang jelas soal tata kelola konten agar menjadi panduan bagi netizen.
“Kalau mengacu ke UU ITE, itu harusnya ada Peraturan Pemerintah (PP) untuk tata kelola konten. Selama aturan turunan belum ada, maka yang muncul kesannya subyektif kala terjadi suatu pemblokiran,” ulasnya.
Sementara Dirjen Aptika Kementerian Kominfo Semuel A. Pangerapan mengungkapkan langkah pemblokiran yang dilakukan pemerintah baru sebatas peringatan. “Kita lakukan peringatan, harusnya ada tahapan hukum, tetapi yang bawa tentu aparat. Ini baru diblokir saja sudah ramai, gimana kalau ditangkap,” katanya.
Menurut Semmy yang dilakukan Kominfo adalah melaksanakan amanat UU ITE yakni Pasal 40 dan berpegang pada aturan pelaksana di Peraturan Menteri No 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif.
“Semua ada prosesnya, ada yang ngadu, ada bukti berupa capture, baru kita blokir. Tidak ada kewajiban memberikan peringatan, blokir itu peringatannya. Tetapi kita juga beri ruang untuk normalisasi kok,” tukasnya.
Sedangkan Sekretaris Forum Jurnalis Muslim Shodiq Ramadhan mengungkapkan sejak era Kabinet Kerja telah terjadi beberapa kali pemblokiran situs dan kebetulan yang banyak terkena adalah media Islam. “Kalau dilihat dari beberapa kejadian yang diblokir, Kominfo kurang teliti. Bahkan ada situs yang tak aktif diblokir,” pungkasnya.(id)