JAKARTA (IndoTelko) – Dewan Pers diingatkan untuk tidak menutup peluang bagi tumbuhnya media rintisan (startup), media alternatif, dan media komunitas karena adanya verifikasi media.
“Perlu ada perbaikan rumusan soal syarat untuk mendapatan verifikasi Dewan Pers. Pengetatan terhadap syarat-syarat itu memang dimaksudkan untuk memastikan bahwa syarat minimal media untuk bisa beroperasi secara layak, tetap dipenuhi. Namun syarat itu, jangan sampai menutup peluang bagi tumbuhnya media rintisan (start up), media alternatif, dan media komunitas yang tumbuh belakangan ini,” kata Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Arfi Bambani Amri dalam rilisnya kemarin..
Menurutnya, rintisan media semacam itu merupakan salah satu cara untuk merawat keberagaman isi (diversity of content), selain merupakan bagian dari kebebasan pers dan kebebasan berekspresi yang juga dilindungi Konstitusi.
"Diperlukan perluasan standar verifikasi, khususnya badan hukum yang mengakomodir produk jurnalistik di luar perusahaan pers, seperti Perkumpulan, Yayasan dan Koperasi," ujar Arfi.
Diakuinya, pendataan dan verifikasi terhadap media ini merupakan salah satu inisiatif untuk menyehatkan pers. Namun AJI menilai perlu ada perbaikan dalam implementasinya.
AJI berpendapat reaksi beragam –sebagian bersifat negatif— atas program sertifikasi ini karena kurangnya sosialisasi di komunitas pers. Gambaran utuh soal program sertifikasi (yang meliputi petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya) juga tak tersedia dengan layak.
"Dewan Pers perlu duduk bersama stakeholdernya, perlu merumuskan dengan jelas soal verifikasi ini, tujuannya, persyaratan apa saja yang harus dipenuhi bagi media yang ingin lolos verifikasi, serta ketentuan detail lainnya. Tujuannya, menentukan persyaratan apa saja yang harus dipenuhi bagi media yang akan verifikasi, serta ketentuan detail lainnya," tambah Ketua Umum AJI Indonesia, Suwarjono.
Gambaran jelas soal sertifikasi itu harus disosialisasikan secara luas, termasuk melalui website Dewan Pers. Selain itu, Dewan Pers bersama stakeholder pers diminta untuk duduk bersama merumuskan lebih jelas sejumlah ketentuan dan syarat dalam verifikasi media. Jika diperlukan, ada review ulang terhadap media yang saat ini sudah dinyatakan lolos verifikasi. Setidaknya langkah ini untuk memastikan bahwa ketentuan soal ini dilaksanakan secara konsisten dan teliti.
"Sebab, inkonsistensi dalam pelaksanaan verifikasi akan berdampak langsung atas tercapai atau tidaknya tujuan dari program ini: mendorong media untuk lebih profesional dan taat kode etik," kata Suwarjono.
Sebelumnya, Dewan Pers akan mengumumkan sejumlah media yang telah lolos verifikasi administrasi dan faktual. Sedianya media yang sudah terverifikasi akan diumumkan Dewan Pers, Rabu (9/2) di Ambon, Maluku.
Pendataan dan verifikasi terhadap media ini sejatinya merupakan pelaksanaan pasal 15 butir 2F, Undang Undang no. 40/1999 tentang kewajiban mendata perusahaan pers oleh Dewan Pers. Juga merupakan komitmen komunitas pers Indonesia yang tertuang dalam Piagam Palembang 9 Februari 2010.
Verifikasi meliputi legalitas media; isi pemberitaan; adanya penanggungjawab redaksi yang jelas; bukti kemampuan finansial untuk menggaji jurnalis secara layak; adanya kode etik, pedoman perilaku dan lain lain.
Meski pencanangan awalnya sudah dimulai 7 tahun lalu, verifikasi terhadap media ini ternyata masih memicu perdebatan dan juga penolakan.
AJI sendiri merupakan organisasi wartawan yang lahir 7 Agustus 1994 ini. Saat ini AJI memiliki 36 AJI Kota di seluruh Indonesia, dengan anggota yang terdiri dari jurnalis, kolumnis, dan juga blogger.
AJI menyatakan verifikasi yang dilakukan Dewan Pers jangan sampai menimbulkan konsekuensi yang justru bisa mengancam kebebasan pers. Misalnya, tak boleh ada pembatasan liputan atau akses bagi pekerja media yang benar-benar melaksanakan tugas jurnalistik meski perusahaannya belum terverifikasi Dewan Pers.
Media yang belum lolos verifikasi itu, asalkan benar-benar bekerja sesuai kaidah Kode Etik Jurnalistik, juga harus mendapatkan pembelaan dan tetap dilindungi melalui skema Undang-Undang Pers saat menghadapi sengketa pemberitaan.
AJI juga menilai pentingnya Dewan Pers merespon desas-desus yang berkembang di masyarakat dan stakeholder pers saat ini yang menyebutkan agar narasumber instansi pemerintah diminta hanya melayani media yang terverifikasi.(id)