JAKARTA (IndoTelko) – Rapat Umum Anggota (RUA) Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) beberapa waktu lalu telah memilih dan menetapkan pengurus baru untuk periode 2018 – 2021 dimana Direktur Utama Telkomsel Ririek Adriansyah terpilih sebagai Ketua Umum. (
Baca:
Pengurus ATSI)
RUA ATSI juga menyetujui keluarnya PT Pasifik Satelit Nusantara (PSN) dan PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL) dari keanggotaan ATSI. Keluarnya dua perusahaan ini tentu lumayan mengejutkan mengingat dua entitas ini masih menghiasi blantika industri telekomunikasi nasional.
Wakil Ketua Umum ATSI Merza Fachys menjelaskan syarat keanggotaan ATSI adalah perusahaan penyelenggara jaringan yang saling melakukan interkoneksi dengan anggota lainnya.
Sementara Sekjen ATSI Marwan O. Baasir menjelaskan keluarnya PSN atas permintaan perusahaan itu sendiri.
“PSN sudah tidak berbisnis di penyelenggaraan telekomunikasi dan itu (keluar dari ATSI) atas permintaan mereka sendiri,” ungkap Pria yang akrab disapa MOB ini melalui pesan singkat, kemarin.
Sedangkan untuk Bakrie Telecom, ijin penyelenggaraan sudah ditarik oleh pemerintah dan tak aktif di bisnis penyelenggaraan telekomunikasi.
Dalam catatan, PSN tengah mempersiapkan peluncuran satelit PSN VI yang berbasis High-Throughput Satellite (HTS). Selain itu, PSN juga bekerjasama dengan Indosat untuk satelit Palapa-N1. (
Baca:
Satelit PSN VI)
Nasib rada apes memang dialami Bakrie Telecom karena masih berkutat menyelesaikan utang-utangnya yang tak kunjung rampung sejak 2014 lalu. (
Baca:
Nasib Bakrie Telecom)
Kabarnya, saat ini Bakrie Telecom tengah fokus mendistribusikan obligasi wajib konversi (OWK) kepada para krediturnya mengingat belum semua kreditur yang berada di bawah Bakrie Telecom Pte Ltd, selaku penerbit obligasi yang berbasis di Singapura, menerima OWK.
Proses itu antara lain adalah exchange offer untuk menawarkan pertukaran wesel senior yang saat ini dimiliki kreditur dengan wesel baru. Wesel baru ini terdiri atas OWK dan porsi tunai.
Menurut hasil sidang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), porsi OWK yang dapat dikonversi dalam bentuk saham BTEL sebesar 70% dari total utang. Sisanya, merupakan porsi tunai yang dibayar secara cicilan. Penawaran ini hanya berlaku bagi kreditur yang meminjamkan uang kepada BTEL di atas Rp 3 miliar.
Total utang Bakrie Telecom yang akan direstrukturisasi sebesar Rp 11,8 triliun. Utang ini berasal dari 580 kreditur dalam dan luar negeri.
Nilai utang ini bisa bertambah gemuk lantaran kurs rupiah masih bergejolak. Porsi utang dalam bentuk dollar dalam bentuk wesel senior sebesar US$ 380 juta atau setara Rp 5 triliun.
Dari 50 kreditur yang menerima OWK baru satu kreditur yang mengkonversi ke dalam saham BTEL, Huawei Tech Investment.
Huawei mengkonversi obligasi senilai Rp 1,23 triliun menjadi 6,189 miliar saham yang menjadikan perusahaan itu menjadi pemegang 16,8% saham BTEL.
Artinya, sisa utang BTEL yang belum terkonversi menjadi saham senilai Rp 6,4 triliun. Jika semua kreditur sudah memegang OWK, mereka dapat melakukan konversi ke dalam saham BTEL. Saat ini, para kreditur yang sudah memegang OWK belum berkomitmen mengkonversinya ke saham.
Manajemen perusahaan berharap hasil restrukrisasi ini bisa kelar maksimal pada kuartal I-2019.
Di tengah proses restrukturisasi utang, manajemen Bakrie Telecom masih berusaha mencari pemasukan. Salah satunya menjajal peruntungan di bisnis layanan telekomunikasi untuk gedung-gedung tinggi (high rise building).
Layanan yang ditawarkan antara lain infrastruktur teknologi informasi, sistem email, jasa pemeliharaan kabel fiber optic, fleet management hingga layanan contact center.
Per kuartal I-2018, layanan ini membukukan pendapatan sebesar Rp 2,2 miliar. Rugi bersih pada kuartal I-2018 masih bisa terpangkas menjadi Rp 174,97 miliar dari kerugian tahun lalu sebesar Rp 190,81 miliar.
Ke depan perusahaan menjajaki model bisnis lainnya, yakni penyewaan tower untuk layanan televisi digital.
Manajemen mengkalkulasi ada potensi bisnis penyewaan tower sebanyak 1.500 dari peralihan siaran televisi analog menuju digital. Nilai bisnisnya bisa mencapai Rp 120 miliar per televisi dengan masa kontrak 10 tahun.(dn)