JAKARTA (IndoTelko) - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto mengatakan pemerintah harus mengambil kebijakan baru untuk menyerahkan operator pengadaan Satelit L-Band dari Kementerian Pertahanan (Kemenhan) ke badan usaha lain yang bukan pemerintah.
Hal ini untuk menghindari beban APBN dan tidak menanggung satu residu dari kemungkinan kegagalan program itu.
Demikian disampaikan Menko Polhukam Wiranto usai memimpin Rapat Koordinasi Khusus Tingkat Menteri di kantor Kemenko Polhukam, seperti disiarkan laman Kominfo (16/10).
"Saya melaksanakan rapat koordinasi dengan para menteri terkait adanya pengadaan satelit L Band, orbit 123 derajat bujur timur (BT) yang sudah kita rencanakan untuk bisa kita adakan lewat kemampuan Kemhan. Tetapi satu dan lain hal, ternyata kita memang harus mengambil kebijakan baru untuk menyerahkan operator itu tidak di Kemhan, tapi di badan usaha lain yang bukan pemerintah," jelasnya.
Namun, lanjut Menko Wiranto, tentunya pemerintah masih tetap memberikan persyaratan-persyaratan khusus untuk masalah itu. Sehingga, di satu sisi pemerintah tidak lagi terbebani APBN dalam proyek itu, tapi di sisi lain pemerintah masih mendapatkan keuntungan dari peluncuran satelit L Band untuk kepentingan pemerintah dan pertahanan.
"Sementara ini kita membentuk satu tim gabungan untuk melakukan satu evaluasi, verifikasi dari beberapa badan usaha yang sementara ini menyatakan bersedia untuk mengambil alih sebagai operator dari Kemhan," kata Menko Wiranto.
Menko Wiranto mengatakan, Kepala BKPM Thomas Lembong akan mengecek bagaimana kekuatan finansial badan usaha tersebut. Sementara dari sisi teknis, Menteri Kominfo Rudiantara akan mendalami kemampuan teknis serta pengalaman badan usaha itu.
"Intinya kita masuk dalam satu proses yang adil, fair, tidak merugikan pemerintah, dan tidak membahayakan APBN kita," tegasnya.
Sementara itu, Menteri Rudiantara menjelaskan hanya ada 8 slot orbit dari sekitar 300-an slot orbit yang L Band, Low orbit.
"Jadi semua ingin ambil ini, apalagi yang di luar negeri, karena coverage-nya bisa sampai dengan seluruh Asia Tenggara, Tiongkok Selatan, sebagian Pasifik sampai ke Filipina. Secara teknis memungkinkan untuk punya coverage yang sangat luas," terangnya.
Menteri Rudiantara mengungkapkan, sudah ada empat badan usaha yang dievaluasi dan sedang dipersempit menjadi beberapa variabel.
Pertama dari kemampuan pengalaman, kemampuan teknis, dan kemampuan keuangan. Kemudian bagaimana model bisnisnya, siapa pasarnya, sehingga jangan sampai juga gagal.
"Nanti kalau gagal yang repot saya juga, nanti tidak bisa meluncur karena gagal, marketnya tidak ada, nanti urusannya saya lagi, Kominfo lagi, gagal lagi meluncur. Itulah variabel utama. Terus komitmennya, terus mau gak mereka mengalokasikan berapa persen kapasitasnya untuk digunakan pemerintah," jelasnya.
Slot 123 BT menjadi bahan pembicaraan pasca Avanti Communications Limited (Avanti) mengumumkan bahwa sidang arbitrase yang dijalaninya dengan Kementrian Pertahanan (Kemenhan) Indonesia berhasil dimenangkan operator satelit itu pada Juni lalu.
Pada 6 Juni 2018, pengadilan arbitrase memutuskan Kemenhan harus membayar Avanti US$ 20,075 juta dengan batas waktu 31 Juli 2018. (
Baca: Kasus slot orbit 123 BT)
Asal diketahui, Avanti menempatkan Satelit Artemis pada Slot Orbit 123 derajat BT terhitung mulai 12 November 2016 guna mencegah hilangnya hak spektrum L-band pada slot orbit 123 derajat timur. (
Baca: Satelit Kemenhan)
Sebelumnya slot tersebut ditempati oleh satelit Indonesia, Garuda-1 yang sudah mengorbit selama 15 tahun. Pada 2015, Satelit Garuda-1 sudah tidak mengorbit lagi.(id)