JAKARTA (IndoTelko) - Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengaku siap memfasilitasi jika ada operator telekomunikasi yang melakukan konsolidasi untuk efisiensi industri.
"Saat ini jumlah operator seluler yang beroperasi di Indonesia terlalu banyak. Hal itu sudah mulai disadari oleh para pemegang saham antaroperator telekomunikasi. Konsolidasi itu corporate action, sehingga pemegang saham yang menentukan, tapi pemerintah yang memfasilitasi “ kata Menkominfo Rudiantara belum lama ini.
Menurutnya, konsolidasi untuk menyehatkan industri sebetulnya bisa dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya manage top line.
“Sebetulnya menyehatkan industri itu sederhana, bagaimana cara industri kita melihatnya jangan per operator, (tapi) manage top line,” katanya.
Dikatakannya, top line dari operator idealnya harus naik. Namun, kenyataannya, top line di industri telekomunikasi ini masih dibawah angkah 1,5%. Hal itu dapat dibuktikan dari beberapa tahun sebelumnya yang sudah menunjukkan angka-angka yang tidak sehat dari industri telekomunikasi.
“Top line ini harus bisa naik, dan saya yakin bisa naik. Sebetulnya kontribusi top line yang secara industri kita masih mungkin sekitar 1,2% dari GDP. Ruang untuk kesana ada, tapi kemauan untuk kesana yang repot. Jadi, pemerintah juga bisa bantu banyak di komponen biaya dengan membuat aturan-aturan atau regulasi,” ucapnya.
Siapkan Aturan
Diungkapkannya, saat ini lembaganya tengah menyusun aturan merger dan akuisisi di sektor telekomunikasi yang intinya untuk keadilan bagi industri. Termasuk frekuensi, yang tidak akan diambil pemerintah jika ada aksi korporasi satu operator mengakuisisi operator lain.
“Aturan ini sedang dipersiapkan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI). Kendati demikian, konsolidasi bisa dilakukan tanpa perlu menunggu aturan keluar,” jelasnya.
Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika, Ismail mengungkapkan industri telekomunikasi sepanjang 2018 semakin terpuruk.
Asosiasi Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) menyebutkan pertama kalinya dalam sejarah, industri telekomunikasi Indonesia mengalami pertumbuhan minus 6,4% tahun lalu.
Dua tahun silam, industri telekomunikasi masih mampu mengantongi pendapatan mencapai sekitar Rp 158 triliun. Namun di 2018 nilainya turun menjadi Rp 148 triliun alias minus 6,4%.
Penurunan disebabkan oleh beberapa faktor penting, yakni penurunan layanan voice/SMS yang telah digantikan oleh layanan baru dari penyelenggara Over the Top (OTT), perang tarif antar operator di layanan data, dan juga adanya regulasi registrasi SIM Card.
Ismail menyarankan, pemerintah perlu membuat aturan dan regulasi yang jelas untuk mempermudah apabila ada operator yang akan melakukan konsolidasi, serta perlu dilakukan simplifikasi perizinan untuk pembangunan infrastruktur telekomunikasi.
Ismail menyebutkan tigal hal penting terkait usaha konsolidasi. Pertama, tujuan dari konsolidasi adalah membuat sehat industri agar sustainability dari pembangunan infrastruktur terus berjalan.
Terjadinya konsolidasi pada segmen pasar yang tersedia itu cukup sehat untuk dibagi dengan jumlah operator yang tersedia. Saat ini, kondisi pasar terlalu ketat dengan jumlah operator yang sudah banyak. Hal ini membuat persaingan menjadi tidak sehat, sehingga keberlangsungan, salah satunya terkait pembangunan infrastruktur, menjadi berkurang.
Kedua, soal frekuensi. “Ini resource esensial yang sangat penting bagi kelanjutan dari merger itu, maka pihak operator menanyakan kepada regulator bagaimana policy dan regulasinya. Pada dasarnya, mengenai frekuensi akan dievaluasi oleh pemerintah kalau terjadi merger. Kemudian evaluasi yang paling pas untuk jumlah perusahaan baru itu frekuensi berapa itu akan kami terbitkan,” jelasnya.
Ketiga, isu soal pelanggan. Adanya merger, pelanggan akan diuntungkan, karena terjadi sebuah perusahaan yang sehat dalam memberikan layanan kepada publik. Perusahaan sehat yang dimaksud adalah korporasi yang secara berkelanjutan membangun dan memberikan kualitas layanan yang maksimal. Sebaliknya, ketika perusahaan tidak sehat, maka kualitas layanan pun tak akan bisa terjaga.
Sebagai informasi, saat ini ada enam pemain seluler, yaitu Telkomsel, XL Axiata, Indosat Ooredoo, Smartfren, Hutchison 3 Indonesia, dan Sampoerna Telekomunikasi Indonesia.(tp)