JAKARTA (IndoTelko) – IBM Indonesia bersama A.P. Moller – Maersk dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Indonesia, Kementerian Keuangan mengumumkan kerjasama piloting penggunaan platform TradeLens, sebuah platform digital berbasis teknologi blockchain di Indonesia setelah beberapa bulan masa implementasi pertamanya diumumkan pada akhir tahun lalu.
Ini menjadikan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Indonesia menjadi lembaga pemerintah ketiga di Asia Tenggara yang menggunakan platform digital berbasis teknologi blokchain.
TradeLens adalah platform digital perdagangan global yang bisa melacak dan membagikan informasi posisi kontainer secara lebih efisien dan akurat bagi pengguna platform.
Platform TradeLens, yang dikembangkan bersama oleh A.P. Moller – Maersk dan IBM, memungkinkan transformasi digital dari proses pengiriman yang berbasis kertas untuk menghasilkan data end-to-end secara instan sekaligus bersifat permanen atau tidak dapat diubah.
Direktur Informasi Kepabeanan dan Cukai Agus Sudarmadi mengatakan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menggunakan solusi blockchain ini untuk menyederhanakan proses perdagangan, membuat proses dokumentasi menjadi lebih otomatis, dan meningkatkan kerjasama serta komunikasi antar pihak.
"Dengan konsep Collaboration Application Programing Interface (API), semua kegiatan logistik termasuk pengiriman barang menggunakan angkutan truk, pergudangan, dan pengiriman barang melalui laut baik skala kecil maupun besar di tingkat domestik dan global, serta pembagian informasi, bisa dilakukan sekaligus melalui satu platform, IBM TradeLens," katanya kemarin.
TradeLens akan melengkapi layanan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Indonesia dengan alat pelacak otomatis dan permanen. Digitalisasi proses pengiriman yang sebelumnya berbasis kertas yang diselenggarakan TradeLens ini akan menjadikan alur kerja atau workflow menjadi lebih terjaga keamanannya, transparan, efisien, dan sederhana. Selain itu, TradeLens juga memungkinkan pembagian informasi mendekati real-time dari berbagai jaringan milik anggota ekosistemnya.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Indonesia saat ini berupaya memperluas Ekosistem Logistik Nasional (National Logistic Ecosystem) agar sektor permintaan dan penawaran dari industri logistik bisa berinteraksi dan berkolaborasi secara efektif. Dengan menggunakan sistem yang disebut CEISA 4.0 (Sistem Informasi Cukai dan Otomasi), Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Indonesia juga akan memperluas NLE dengan mempertemukan importir dan eksportir agar bisa berkolaborasi dan berbagi informasi dengan penyedia logistik.
Pihak yang berwenang akan menerima data pengiriman sesaat sesudah kontainer meninggalkan pelabuhan keberangkatan. Hal ini akan memberikan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai lebih banyak waktu untuk mempersiapkan penerimaan pengiriman barang. Sehingga, pemeriksaan bea cukai untuk mencegah penipuan dan pemalsuan menjadi lebih efisien serta menyeluruh. Selain itu, proses pencatatan penerimaan cukai menjadi lebih konsisten dan transparan.
Ditambahkannya, rantai pasokan adalah faktor penting dalam mengelola biaya logistik dan biaya logistik Indonesia relatif lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara.
"TradeLens akan membantu memberikan visibilitas, prediktabilitas, dan keamanan lebih lanjut kepada kami dan akan menjadi aset nyata untuk memfasilitasi perdagangan dan transportasi. Selain itu, kami berharap ini bisa menjadikan Indonesia sebagai gerbang logistik dan transportasi pilihan di Asia Tenggara. Hal ini juga akan membantu kami dalam memfasilitasi perdagangan dan mempromosikan sistem logistik nasional sekaligus berkontribusi pada pengembangan ekonomi nasional. Tentunya sembari memenuhi standar terbaru yang ditetapkan oleh World Customs Organisation (WCO) atau Organisasi Pabean Dunia, ” tambah Agus Sudarmadi.
Presiden Direktur IBM Indonesia Tan Wijaya mengatakan penerapan teknologi blockchain dalam berbagai bentuk akan menguntungkan semua pemangku kepentingan di seluruh ekosistem logistik dan mendorong modernisasi perdagangan secara menyeluruh di berbagai tingkatan.
Asal tahu saja, nilai pengiriman barang lintas perbatasan internasional mencapai lebih dari US$ 16 triliun setiap tahunnya dan sekitar 80% diantaranya dikirim melalui laut.
Prosedur pengiriman berbasis kertas menyebabkan sejumlah kendala yang dirasakan di seluruh rantai pasokan global, termasuk informasi yang tidak konsisten dan tidak akurat, keterlambatan, dan gangguan (karena pengecekan manual dan input data). Berbagai kendala lainnya adalah ketidakmampuan untuk memberikan penilaian risiko yang menyeluruh, promosi yang kompleks, komunikasi antar pemangku kepentingan yang tidak efisien dan mahal, serta kurangnya transparansi.(wn)