JAKARTA (IndoTelko) - Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mewacanakan berbagi frekuensi untuk penggelaran 5G agar operator mampu memberikan layanan dengan teknologi itu secara memadai.
"Kami mengusulkan berbagi frekuensi ini dalam RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) sebagai solusi untuk kebutuhan industri 4.0 dan Proyek Strategis Nasional (PSN). Ini agar operator bisa menggelar 5G secara memadai di ketiga layer frekuensi (Low, Mid, high band) secara memadai," ungkap Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika Kominfo Ismail kala memberikan Keynote Speech di ajang “Indonesia 5G Ecosystems Forum 2020”, kemarin.
Dijelaskannya, spektrum 5G terbagi atas tiga layer. High Band tersedia di 26/28 GHz, Middle band (2,3/2,6/3,3/3,5 GHz), dan Low Band di 700 MHz.
"Jika mau menggelar 5G, operator butuh frekuensi 80-100 MHz secara berdampingan. Kita ada 5 operator, jika dibagi 100 MHz, tak cukup frekuensi tersedia. Makanya kita kaji kemungkinan nanti jika ada operator menjadi pemenang harus mau berbagi," ulasnya.
Ismail pun menjanjikan dalam regulasi berbagi frekuensi ini akan menggunakan filosofi "Keadilan" dengan menimbang pembangunan jaringan yang dilakukan operator. "Saya lihat sudah mulai banyak yang nulis isu berbagi frekuensi ini, kita terbuka saja dengan saran, tetapi kita minta faktor "adil" bagi semua itu diutamakan," katanya.
Dalam dokumen yang beredar di media, RUU Omnibus Law memang mengubah Ketentuan Pasal 33 di UU No 36/99 sehingga berbunyi terlihat sama dengan materi usulan perubahan PP 53/2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit yang telah ditolak ditandatangani Presiden Joko Widodo di periode pertama pemerintahannya.
Materinya adalah mengijinkan adanya penggunaan frekuensi bersama oleh pemegang perizinan berusaha seperti disebutkan di Pasal 33 ayat 6, Pemegang Perizinan Berusaha terkait penggunaan spektrum frekuensi radio untuk penyelenggaraan telekomunikasi dapat melakukan:
a. kerjasama penggunaan spektrum frekuensi radio; dan/atau
b. pengalihan penggunaan spektrum frekuensi radio, dengan penyelenggara telekomunikasi lainnya.
Evolusi
Sementara Direktur Indonesia ICT Institute Heru Sutadi menyatakan 5G tak bisa ditolak dan pasti akan masuk ke Indonesia.
Data terbaru yang dipublikasikan Global Supplier Association (GSA) menyebutkan, hingga akhir Februari 2020, tercatat 63 operator di 35 negara telah mengkomersialkan 5G.
Jika dihitung secara keseluruhan operator telekomunikasi, termasuk yang sudah berinvestasi dengan melakukan uji coba dan sedang melakukan pembangunan, maka secara total sudah ada 359 operator yang berhasrat memanfaatkan teknologi baru disebut dapat memberikan kecepatan akses yang lebih cepat dengan latency (delay) yang lebih rendah.
“Dalam adopsi teknologi, ada tiga hal utama yang perlu dikedepankan, yaitu bisnis, teknis dan aturan. Indonesia kalau tidak menggelar 5G nanti tetap berada di urutan kelima atau makin melorot urusan internet di Asia Tenggara," ingatnya.
Direktur National ICT Strategi dan Marketing Huawei Mohamad Rosidi menjelaskan, adopsi 5G di banyak negara kian cepat dibanding adopsi teknologi seluler sebelumnya.
“Percepatan dapat dilakukan jika ekosistem mendukung. Semua pihak harus bahu-membahu untuk bersama membangun ekosistem 5G agar manfaat 5G untuk pembangunan dan peningkatan sumber daya manusia juga makin nyata,” katanya.
Wakil Walikota Tegal Muhamad Jumadi menyambut baik upaya membangun ekosistem 5G. ”Kami memiliki kepentingan bagaimana teknologi digital dapat dimanfaatkan untuk menghadirkan kota cerdas. Kota Tegal saat ini sedang giat membangun dan memberikan layanan pada masyarakat dengan teknologi terkini. Semoga dengan nantinya akan hadir 5G, yang juga didukung teknologi lainnya, Kota Tegal sebagai “The Real Smart City” dapat terwujud,”tutupnya.(sg)