JAKARTA (IndoTelko) - PT XL Axiata Tbk (XL Axiata) berhasil mencetak laba sebesar Rp1,02 triliun hingga kuartal ketiga 2021 atau turun dibandingkan periode sama tahun lalu Rp2,075 triliun.
Pencapaian tersebut ditopang pendapatan yang tumbuh sebesar Rp19,8 triliun naik dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar Rp19,6 triliun. EBITDA juga naik sebesar 1,5% QoQ dengan tingkat margin yang sehat di atas 50%. Selanjutnya, total jumlah pelanggan bertambah 1,2 juta selama periode triwulan ketiga ini, dengan ARPU blended yang juga sehat di Rp 37 ribu.
Saat ini jariangan 4G XL Axiata telah menjangkau 458 kota/kabupaten yang ditopang oleh 69 ribu BTS 4G. Total BTS (2G/3G/4G) yang dimiliki XL Axiata saat sebanyak 153 ribu.
“Kami tetap berupaya keras untuk bisa melalui periode kuartal ketiga 2021 yang cukup berat, di tengah kompetisi industri yang tidak pernah kendor. Untuk itu, kami tetap melanjutkan digitalisasi secara end-to-end di hampir semua lini bisnis, antara lain dengan mengimplementasikan analisa berbasis artificial intelligence untuk meningkatkan efisiensi dalam operasional. Selain itu tentu dengan tetap membangun jaringan untuk meningkatkan kualitas layanan seiring dengan trafik yang juga terus meningkat. Di sisi produk, pada periode ini kami telah meluncurkan produk konvergensi yang pertama di Indonesia, bernama “XL Satu Fiber”, yang menawarkan banyak manfaat bagi pelanggan,” kata Presiden Direktur & CEO XL Axiata, Dian Siswarini.
Pendapatan dari data di periode triwulan ketiga 2021 terus tumbuh, dan mencapai Rp 6 triliun, meningkat sebesar 2% dari kuartal sebelumnya (QoQ). Pencapaian ini sekaligus meningkatkan kontribusi pada total pendapatan layanan menjadi sebesar 95%, meningkat dibandingkan kuartal sebelumnya yang sebesar 94%. Pendapatan data ini tidak terlepas dari pertumbuhan trafik di sepanjang triwulan ketiga 2021, sebesar 10% QoQ, dari 1.572 PB menjadi 1.722 PB. Jika menggunakan penghitungan selama periode sembilan bulan, trafik data meningkat setinggi 34% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
XL Axiata tetap mampu menjaga posisi neraca dalam posisi sehat dan terkendali, meskipun jumlah hutang meningkat di periode sembilan bulan. Tercatat, hutang kotor meningkat 25% YoY dan hutang bersih meningkat 28% YoY. Free Cash Flow (FCF) berada pada tingkat yang sehat, meskipun turun sebesar 26%, ke angka Rp 3,6 triliun karena adanya peningkatan belanja modal (capex) untuk mendukung pembangunan jaringan dan peningkatan pelayanan kepada pelanggan.
Untuk rasio hutang bersih terhadap EBITDA juga masih baik mencapai 0,5x. Perusahaan tidak memiliki utang berdenominasi USD. Sebesar 70% dari pinjaman yang ada saat ini berbunga floating dan pembayarannya dikelola hingga dua tahun ke depan.
Untuk membiayai pembangunan jaringan dan mendorong pertumbuhan pendapatan, XL Axiata telah membelanjakan capex yang lebih besar. Hingga periode sembilan bulan 2021, capitalized capex meningkat 25% YoY menjadi Rp 6,4 triliun, sedangkan committed capex meningkat 24% YoY menjadi Rp 4,5 triliun.
Sejumlah peluang positif di dalam Industri Telekomunikasi Indonesia yang direspon perusahaan. Salah satunya terkait merger antaroperator yang berpeluang meningkatkan dinamika kompetisi yang lebih seimbang di industri. Kemudian, mengenai pelonggaran PPKM telah meningkatkan aktivitas ekonomi. Selanjutnya, berlanjutnya program kuota pendidikan fase ketiga oleh pemerintah memberikan peluang operator untuk ikut berpatisipasi.
Selanjutnya, terus berkembangnya cara kerja digital, sekolah, dan kehidupan sehari-hari telah menciptakan permintaan data dalam jangka panjang. Peluang lainnya berupa peningkatan permintaan layanan fixed broadband – fiber to the home (FTTH), di mana telah tersedia layanan XL Home dengan area layanan yang terus meningkat. Selain itu, keberadaan UU Ciptakerja juga bermanfaat positif dalam jangka panjang, termasuk untuk efisiensi capex dan opex dalam menyediakan layanan 5G.
Di sisi lain, ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi sepanjang sembilan bulan 2021. Salah satunya adalah akan terus berlanjutnya kompetisi yang ketat antar operator. Meningkatnya intensitas kompetisi sejak akhir tahun 2020 lalu terasa berdampak pada pertumbuhan industri. Terkait pandemi Covid-19 yang masih terus membayangi dan berdampak langsung pada pemulihan ekonomi secara umum. Selanjutnya, ada juga tantangan terkait dampak dari global supply chain yang bisa mempengaruhi persediaan bahan baku dan produksi.(wn)