JAKARTA (IndoTelko) -- Kekhawatiran masyarakat dengan pandemi yang saat ini sedang berlangsung belum juga mereda, terlebih dengan terdeteksinya varian omicron di tengah padatnya aktivitas masyarakat di Indonesia saat ini. Melihat hal ini, banyak perusahaan yang beradaptasi untuk menerapkan cara bekerja Work from Home (WFH), bahkan secara permanen. Namun, perlu diketahui bahwa aktivitas bekerja jarak jauh atau (WFH) juga berpotensi meningkatkan risiko gangguan kesehatan mental di kalangan masyarakat profesional yang aktif mengadopsi kebiasaan baru tersebut.
Dalam sebuah studi yang dilansir Morbidity and Mortality Weekly sepanjang tahun 2020, gejala depresi dan peningkatan kecemasan yang mendera masyarakat di Amerika Serikat meningkat empat kali lipat dibandingkan tahun 2019. Riset yang dilakukan CDC Amerika Serikat tersebut menyebutkan, mayoritas masyarakat dalam kategori umur produktif hingga 44 tahun mengalami gangguan kesehatan mental. Hal tersebut disebabkan oleh campur aduknya urusan pribadi dan kantor di satu tempat dan waktu. Selain itu, masifnya arus berita yang diterima masyarakat turut memberi porsi tekanan kesehatan mental di waktu bersamaan.
Di Indonesia, masyarakat sebenarnya menyadari gejala gangguan kesehatan mental yang mendera mereka. Provinsi Jawa Barat misalnya mengumumkan bahwa kunjungan pasien yang cemas terhadap kesehatan jiwanya di Rumah Sakit Jiwa Cisarua meningkat 14 persen per Agustus 2020. “Kondisi pandemi COVID-19 berdampak pada tekanan psikologis yang berat di berbagai sektor. Banyak masyarakat yang cemas dan khawatir dengan kondisi pandemi Covid-19,“ ujar Direktur RSJ Provinsi Jabar dr. Elly Marliyani.
Namun demikian, jumlah tersebut diyakini masih jauh dari angka riil di lapangan. Karena, sebagian besar masyarakat masih enggan berkunjung ke rumah sakit maupun fasilitas konseling psikologis lain di masa pandemi Covid-19 saat ini. Dengan berbagai keterbatasan ini, masyarakat kini mulai melirik layanan konsultasi kesehatan, termasuk kesehatan mental, yang dilakukan secara daring atau disebut teleterapi. Adanya fasilitas ini tentu memudahkan masyarakat yang membutuhkan layanan-layanan tersebut tanpa harus bepergian ke luar rumah.
Layanan konseling psikologi daring Riliv menyatakan setiap bulan terdapat 18 ribu pengguna yang menggunakan aplikasinya untuk kebutuhan konsultasi. Angka tersebut dinilai meningkat cukup pesat serta didominasi oleh pasien yang datang dengan berbagai keluhan, khususnya terkait kelelahan bekerja di masa pandemi. Hal ini menunjukan bahwa melakukan layanan teleterapi merupakan salah satu alternatif layanan yang dibutuhkan semasa pandemi. Terlebih, adanya kemudahan akses untuk berkonsultasi secara daring memudahkan pasien untuk berkomunikasi dengan tenaga ahli, dimanapun mereka berada.
Melihat pentingnya proses konseling antara pasien dan psikolog berjalan secara optimal. Business Development Manager, Video, Jabra Indonesia Louis Sudarso mengatakan, “Efektivitas waktu yang dihabiskan oleh pelaku teleterapi sudah seharusnya dimaksimalkan sebaik mungkin. Oleh karena itu agar sesi dapat berjalan dengan maksimal layaknya sesi tatap muka, dibutuhkan adanya perangkat yang dapat mengakomodir kualitas suara serta gambar yang sama baiknya.”
Menurut Louis, adanya dukungan perangkat yang menunjang hasil suara maupun kualitas gambar yang dihasilkan oleh kamera video berpengaruh sangat besar pada keberhasilan aktivitas konsultasi secara daring. “Kita mengetahui bahwa psikolog maupun pasien harus melakukan komunikasi yang baik, agar setiap keluhan yang dialami oleh pasien dapat dimengerti secara penuh. Selain itu, kualitas citra gambar juga diupayakan sebaik mungkin agar psikolog mampu melihat dan menganalisa gerak tubuh serta mimik wajah pasien.” tambahnya. Sehingga, dengan kelancaran proses konseling, psikolog maupun psikiater bisa mendapatkan sampel diagnosis yang lengkap dan terperinci.
Jabra, sebagai perusahaan audio video menyadari pentingnya hal tersebut, serta melihat bahwa tren konsultasi maupun bekerja secara jarak jauh dapat menjadi perubahan gaya hidup yang akan terus dijalankan bahkan selepas usainya pandemi. Melihat hal tersebut, perangkat Jabra PanaCast 50 hadir untuk menjawab kebutuhan akan perangkat yang dapat secara maksimal menunjang kualitas audio serta video dari kalangan pekerja profesional saat ini, termasuk pekerja di industri kesehatan. Kamera pintar Jabra PanaCast 50 dilengkapi kualitas 4K panoramic dengan sensor 13 megapiksel yang cocok untuk digunakan pada ruangan dengan kebutuhan meeting yang lebih besar. Sebab, kamera video bar ini mampu menangkap citra gambar hingga 180 derajat serta sudah dilengkapi speaker untuk menunjang kualitas audio terbaik. Sebagai alternatif, seri PanaCast 20 juga dapat menjadi pilihan, disertai dengan pilihan speaker dari seri Speak 710 atau Speak 750 yang mampu menunjang kolaborasi audio dan video untuk mendukung aktivitas jarak jauh.
Terkait audio, Jabra menyematkan kualitas audio yang sangat baik, ditunjang dengan dua buah woofer 50mm dan tweeter 20mm. Adanya fitur-fitur canggih tersebut tentu mendukung tujuan Jabra untuk terus berpartisipasi secara aktif dalam menyediakan perangkat mumpuni, khususnya di sektor kesehatan yang dewasa ini sangat dibutuhkan. Selain itu, perangkat Jabra PanaCast 50 juga sudah kompatibel dengan berbagai platform rapat virtual seperti Microsoft Teams, Zoom, serta Google Meet. Sehingga, pemakai dapat menyesuaikan platform rapat virtual yang hendak digunakan sesuai dengan kebutuhan dan preferensinya masing-masing.
Louis menganggap bahwa hadirnya perangkat Jabra PanaCast 50 di Indonesia sejalan dengan kebutuhan para psikolog maupun tenaga kesehatan yang membutuhkan kualitas suara dan gambar yang maksimal pada aktivitas sehari-harinya. “Kami berharap produk kami tidak hanya dapat dipergunakan untuk menunjang kegiatan produktif masyarakat semata, tetapi juga bisa menunjang kebutuhan industri lainnya, khususnya di sektor kesehatan atau healthcare.” tutupnya. (SYR)