JAKARTA (IndoTelko) - Para ilmuwan terus memperingatkan dampak dari kekeringan berkepanjangan dan pergeseran musim tanam yang akan disebabkan oleh El Nino. Saat ini kondisi cuaca yang dipengaruhi oleh krisis iklim telah menunjukkan penurunan produksi beras. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan adanya penurunan angka produksi beras dalam negeri sebesar 28% seperti yang terjadi di Jakarta. Hal ini terlepas dari data total produksi beras dalam negeri pada tahun 2022 mencapai 54,75 juta ton gabah kering giling.
Kelangkaan beras yang disebabkan oleh gagal panen juga berpotensi menimbulkan efek domino yang akan memicu kenaikan harga secara keseluruhan. Melihat implikasi yang ada, maka perlindungan terhadap sektor pertanian, terutama bagi para petani yang mengalami kerugian akibat gagal panen menjadi hal yang penting.
Saat ini, pemerintah telah melakukan beberapa upaya pencegahan gagal panen akibat bencana alam, seperti pemanfaatan teknologi tanam, perbaikan rantai pasok, penetapan harga gabah, pembukaan lahan baru untuk bercocok tanam, serta penyediaan asuransi.
Program Asuransi Pertanian (AUTP) yang telah hadir dari 2015 adalah skema pendanaan alternatif, sehingga para petani dapat membiayai kembali usahanya pada musim berikutnya jika terjadi gagal panen. Kementerian Pertanian RI berdasarkan UU No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani telah menunjuk PT Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo) untuk mengoperasikan program ini. Melalui program ini, petani cukup membayar premi sebesar Rp36.000 per hektar untuk satu musim tanam dengan pertanggunan maksimal senilai Rp6.000.000 per hektar.
Meski dapat membantu para petani untuk berfokus pada pengelolaan usaha tani yang lebih baik, aman, serta menguntungkan, masih banyak petani yang enggan mengikuti program tersebut. Data menunjukkan bahwa jumlah peserta program AUTP terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun 572.982 peserta pada tahun 2022, turun dari angka 619.700 peserta pada tahun 2021, dan 1,36 juta peserta pada tahun 2020.
Adapun penurunan tersebut disebabkan keengganan para petani untuk membayar premi, terutama pemilik lahan dengan tingkat risiko gagal panen yang rendah. Di sisi lain, walaupun jumlah pemilik lahan dengan risiko tinggi mencapai 80% dari total peserta, mereka pun enggan melanjutkan program tersebut, karena dinilai tidak merasakan manfaat dari asuransi. Pada sebuah kasus, klaim klaim petani di Jawa Barat akibat petugas terlambat menindaklanjuti pelaporan selama dua minggu pasca lahan dilanda banjir. Ketika petugas sampai, lahan yang seharusnya bisa diklaim tidak lagi direndam banjir, menyebabkan klaim tidak dapat dilakukan.
Selain itu masih banyak petani yang belum memahami urgensi asuransi bagi keberlangsungan panen mereka. Oleh karenanya, edukasi akan dampak perubahan iklim terhadap lahan pertanian dan bagaimana asuransi dapat memberikan perlindungan bagi para petani sangat diperlukan. Kondisi ini diperparah dengan berbagai kasus kesulitan proses administratif seperti pengajuan klaim. Terlebih, kondisi geografis Indonesia juga memberikan tantangan tersendiri dalam melakukan program sosialisasi secara masif.
Di sinilah kolaborasi dan teknologi menjadi penting. Dengan adanya kolaborasi antara, misalnya, para pemerintah dan perusahaan Insurtech, ada dua permasalahan yang mungkin dapat dipecahkan, yang pertama meningkatkan proses sosialisasi melalui agen yang kompeten dan didukung dengan teknologi, sehingga memungkinkan para petani untuk mendapatkan informasi yang lengkap dan sesuai dengan kebutuhan mereka. Lebih lanjut, peran teknologi tidak hanya dapat membantu dalam proses sosialisasi, tetapi juga dalam mengembangkan produk asuransi yang lebih sesuai dengan kebutuhan para petani di lapangan.
Salah satu produk asuransi yang dapat memenuhi kebutuhan para petani Indonesia adalah Asuransi Indeks Cuaca (Weather Index Insurance) milik Igloo. Produk asuransi berbasis blockchain yang mengotomatisasi klaim asuransi petani padi ini telah diluncurkan di Vietnam dan segera di negara-negara lain di Asia Tenggara lainnya. Teknologi yang ada dalam produk ini membantu otomatisasi proses klaim peserta asuransi melalui penggunaan smart contract, dengan harga premi yang terjangkau.
Bekerjasama dengan Badan Meteorologi Vietnam (Vietnam Meteorological and Hydrological Administration), Igloo juga mengumpulkan dan memantau data curah hujan, sehingga produk asuransi ini dapat membayar klaim berdasarkan nilai yang telah ditentukan untuk kerugian akibat peristiwa alam yang sudah diprediksi sebelumnya. Dengan demikian, permasalahan yang terjadi di Jawa Barat dapat dihindari dan klaim dapat didistribusikan secara proporsional kepada para petani.
Selain itu, proses klaim yang diajukan secara individu juga menjadi lebih mudah karena proses verifikasi tidak diperlukan, sehingga biaya transaksi menjadi berkurang dan pembayaran klaim juga dapat diterima dengan lebih cepat. Lebih dalam, teknologi blockchain memungkinkan sistem bisnis yang memudahkan pengaturan pembayaran sehingga keseluruhan proses menjadi transparan, konsisten dan netral.
“Melihat potensi risiko di masa depan dan pentingnya pemenuhan pangan di Indonesia, , kami yakin bahwa semua pihak, seperti pemerintah, pelaku industri, dan para petani padi perlu bahu-membahu dalam menghadapi ancaman gagal panen. Kolaborasi ini akan menciptakan keterbukaan terhadap setiap solusi yang ditawarkan oleh masing-masing pemangku kepentingan. Dengan begitu, ketahanan pangan di Indonesia dapat terjaga dengan baik,” ujar Country Manager Igloo Indonesia Henry Mixson.(wn)