JAKARTA (IndoTelko) - Indonesia Fintech Society (IFSoc) mendorong adanya upaya yang lebih serius memerangi fraud di sektor keuangan digital.
IFSoc mencatat masih besarnya ketimpangan inklusi (85%) dan literasi keuangan (49,7%) menjadi pekerjaan rumah bagi seluruh pemangku kepentingan di industri keuangan. Terlebih masih maraknya kasus kejahatan keuangan, seperti penipuan digital menjadi urgensi adanya upaya penanggulangan fraud melalui edukasi berskala nasional.
Anggota Steering Committee IFSoc Tirta Segara menyatakan, regulator dan industri lintas sektor juga perlu bekerjasama mempersempit ruang gerak pelaku fraud. "Upaya proaktif serta kolektif antara regulator dan industri antar sektor penting adanya untuk memperkecil ruang pelaku fraudster karena telah dideteksi lebih dulu sebelum mereka melakukan kejahatan. Di sinilah perlunya ada universal fraudster database yang dapat diakses berbagai pihak pemangku kepentingan untuk mendeteksi pelaku fraud," jelas Tirta.
Di sisi lain, Tirta menambahkan Indonesia dapat mencontoh Malaysia dengan membuat satu standar hotline untuk menjadi layanan aduan kasus fraud dengan cepat.
"Mencontoh dari Malaysia, mereka punya hotline hasil kolaborasi lintas sektor seperti bank sentral, Kemenkominfo, lembaga keuangan, dan industri telekomunikasi. Jadi hotline ini berguna untuk melaporkan kasus fraud dan laporannya dapat diteruskan ke pihak terkait sehingga bisa direspon cepat dengan memblokir rekening pelaku fraud," jelasnya.
Sementara Ketua IFSoc Rudiantara melihat dukungan kebijakan yang mendorong inovasi menjadi kunci utama dalam pertumbuhan sektor ini ke depan.
Menurutnya, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK) yang membawa sejumlah perubahan signifikan di sektor keuangan. Sebut saja pembentukan Bursa Kripto, Bursa Karbon, Dua Kepala Eksekutif OJK, dan peta jalan pengembangan pinjaman daring (pindar) atau yang dikenal sebagai pinjaman online (pinjol).
"Di tahun 2023 ini kita telah melihat implementasi UU PSSK dalam berbagai kebijakan di sektor keuangan, IFSoc mencatat UU PPSK perlu menjadi titik landas terwujudnya harmonisasi regulasi lintas lembaga di sektor keuangan digital," ungkap Rudiantara.
Rudiantara mendorong adanya kepastian hukum Pelindungan Data Pribadi (PDP) dengan perlu disegerakannya penetapan Lembaga Penyelenggara PDP atas amanat Pasal 58 UU PDP. Apalagi melihat implementasi PDP di perusahaan, jumlah tenaga ahli Data Privacy Officer (DPO) saat ini masih terbatas. Hal itu menjadi perhatian krusial dalam memastikan keberhasilan implementasi PDP di sektor industri.
"Lembaga (Penyelenggara PDP) ini merupakan hulu dari semua aktivitas merencanakan, membuat kebijakan, mengawasi dan membantu (penegakan) hukum. Penyediaan talenta DPO dimulai dari dari pembuatan standarisasi dan kebijakan sertifikasi yang harus dilakukan oleh Lembaga Penyelenggara PDP untuk memastikan ketersediaan kebutuhan yang mencapai 150.000 sampai 170.000 talenta DPO dalam waktu 3 tahun," terangnya.
Tech Winter
Sementara Anggota Steering Committee IFSoc Eddi Danusaputro mengungkapkan tech winter masih terjadi di tahun 2023. Data riset menunjukkan tren pendanaan tekfin atau fintech di semester I-2023 sebesar US$25 juta. Angka tersebut turun signifikan dibandingkan dengan semester I-2022 yang berada di angka US$1 miliar.
Menurutnya ekspektasi investor telah memprioritaskan profitabilitas, sehingga startup diharapkan dapat menyesuaikan model bisnisnya. Kemungkinan badai perusahaan rintisan masih akan berlanjut di tahun 2024 yang didorong oleh ketegangan geopolitik global, kenaikan suku bunga, dan tahun politik.
"Investor akan semakin wait and see di tengah kondisi ekonomi dan politik yang penuh ketidakpastian di tahun depan. Di sini pemerintah perlu andil memberikan affirmative policy melalui adanya alternatif pembiayaan dan pemberian lapangan pekerjaan yang lebih luas bagi talenta digital," ucap Eddi.
Sedangkan Anggota Steering Committee IFSoc, Andreas Maryoto menili bursa kripto sebagai titik ekuilibrium baru perdagangan kripto di Indonesia. Kemunculan Bursa Kripto di 2023 menandakan awal adanya harmonisasi pasar menjadi lebih teregulasi dan langkah konkret melindungi investor. IFSoc melihat transisi peralihan dari Bappebti ke OJK perlu dilakukan dengan hati-hati tanpa mengganggu perdagangan yang saat ini sedang berjalan.
"Isu tata kelola (governance) harus menjadi perhatian penting untuk mencegah terjadinya kejahatan keuangan seperti pencucian uang, pendanaan terorisme, atau penipuan. Kehadiran Bursa Kripto juga perlu menarik minat investasi di pasar dalam negeri. Bursa Kripto menjadi babak baru kemajuan industri kripto, tapi dalam implementasinya perlu mengedepankan governance dan perlindungan terhadap investor. Bursa Kripto harus bisa memberikan edukasi kepada investor sekaligus mendorong investasi di platform lokal," ujar Maryoto.(ak)