JAKARTA (IndoTelko) - Perang asimetris menjadi salah satu ancaman ketahanan nasional terkini. Sejarah menunjukkan teknologi telah mengubah lanskap geopolitik setiap negara.
Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika Nezar Patria menyatakan keberadaan teknologi membawa implikasi mendalam dalam penerapan kebijakan keamanan nasional suatu negara.
"Untuk berdamai maka siaplah berperang, dengan kondisi sekarang mungkin dunia akan menjauhi perang yang saling menghancurkan dengan menggunakan nuklir karena risiko collateral damage yang dihasilkannya akan sangat besar dan merugikan," ujarnya belum lama ini.
Menurutnya perang digital sudah mulai terjadi saat ini. Dalam beberapa tahun terakhir, serangan siber terjadi di sejumlah institusi seperti di kementerian dan BUMN strategis.
"Ini adalah fakta-fakta yang membuktikan bahwa dibentuknya Angkatan Siber di tubuh Tentara Nasional Indonesia sudah sangat mendesak. Di masa depan persoalan-persoalan yang terkait dengan siber dipastikan kuantitas dan intensitas yang akan semakin tinggi," tandasnya.
Wamenkominfo menyatakan kemajuan dalam teknologi informasi memungkinkan negara-negara dan kelompok-kelompok tertentu untuk mempengaruhi opini publik dunia dengan mengumpulkan data intelijen dan mengganggu infrastruktur musuh.
"Meningkatnya prevalensi perang asimetris dan peperangan nonkonvensional membuat peta konflik menjadi bergeser konflik semacam ini melibatkan negara-negara yang kuat dengan teknologi militer tinggi berhadapan dengan kelompok gerilyawan ini mencakup penanggulangan terorisme peperangan siber," jelasnya.
Dia menilai keberadaan angkatan siber akan menjadi solusi untuk menghadapi ancaman di masa depan, terutama dengan membangun pertahanan siber.
"Perang yang tidak lagi tradisional dan konvensional ini untuk itulah banyak negara memikirkan apa yang disebut sebagai angkatan cyber sebagai matra keempat dari perang non konvensional dan bagian dari pertahanan nontradisional," jelasnya.
Dikatakannya, saat ini Indonesia sudah mempunyai embrio bernama Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) yang berdiri pada Mei 2017. BSSN sebagai lembaga lintas sipil militer bertugas mengawal infrastruktur nasional.
"Saat ini beberapa negara maju seperti Singapura, Amerika Serikat, dan China sudah membentuk Angkatan Siber yang dipimpin kepala staf angkatan berbintang empat atau Jenderal. Beban tugas Angkatan Siber tidak bisa ditangani hanya oleh BSSN namun membutuhkan badan intelijen lain dan dalam konteks organisasi merupakan organisasi komando bukan organisasi staf," tuturnya.
Ditambahkannya, keterlibatan sipil juga penting dalam Angkatan Siber. "Jika nantinya Angkatan Siber itu terdiri atas orang sipil dan militer mungkin tidak masalah karena sumberdaya manusia yang dibutuhkan tidak menuntut memiliki spesifikasi militer tapi Warga Negara Indonesia yang mahir dalam ilmu coding, hacking atau Artificial Intelligence," jelasnya.(ak)