PT Multidaya Teknologi Nusantara atau eFishery telah memberikan noda hitam bagi dunia startup Indonesia.
Perusahaan yang bergerak di bidang budidaya perikanan itu terbelit skandal pemalsuan keuangan alias fraud yang diduga melibatkan sejumlah eksekutif top termasuk pendirinya Gibran Huzaifah.
Kasus ini semakin dalam setelah manajemen eFishery membebastugaskan Gibran Huzaifah (CEO) dan Chrisna Aditya (Chief Product Officer) di tengah penyelidikan dugaan fraud.
Investor besar seperti SoftBank Group Corp. dan Temasek Holdings Pte yang sebelumnya menanamkan modal di eFishery kini dihadapkan pada realitas pahit: perusahaan yang mereka dukung diduga menggelembungkan pendapatan hampir 75%, memalsukan data operasional, dan melakukan praktik pencatatan keuangan ganda sejak 2018.
Kabarnya, kasus ini sudah dibawa ke ranah pidana dimana dua petinggi eFishery yakni inisial G dan C dilaporkan ke kepolisian.
eFishery baru saja melibatkan FTI Consulting sebagai manajemen sementara di tengah penyelidikan terkait dugaan fraud oleh pihak manajemen tertentu di internal perusahaan.
Keputusan tersebut diambil setelah meninjau laporan sementara dari FTI Consulting terkait tata kelola dan kondisi keuangan eFishery Pte Ltd., beserta anak usaha yaitu PT Multidaya Teknolog Nusantara, PT eFishery Aquaculture Indonesia, dan PT Teknologi Untuk Pembudidaya.
Keterlibatan pihak ketiga yang independen dalam manajemen bertujuan memfasilitasi kajian yang menyeluruh dan objektif terhadap bisnis perusahaan, untuk menentukan langkah terbaik bagi Grup ke depan.
Sebelumnya beredar hasil laporan sementara FTI Consulting setebal 52 halaman yang diedarkan di antara investor dan ditinjau oleh Bloomberg News, yang menyebutkan manajemen menggelembungkan laporan keuangan eFishery.
Rinciannya sebagai berikut: eFishery menyampaikan kepada investor bahwa perusahaan untung US$16 juta atau Rp261,3 miliar dan meraup pendapatan US$752 juta atau Rp12,3 triliun selama Januari September 2024.
Padahal sebenarnya eFishery merugi US$ 35,4 juta atau Rp 578 miliar. Pendapatan startup perikanan ini diperkirakan US$ 157 juta atau Rp 2,6 triliun. Secara keseluruhan, pembukuan internal menunjukkan kerugian yang dipertahankan eFishery sekitar US$ 152 juta atau selama Januari - November 2024.
Total aset perusahaan US$ 220 juta, termasuk US$ 63 juta dalam bentuk piutang dan US$ 98 juta berupa investasi. Kesimpulannya, manajemen telah menggelembungkan pendapatan hampir US$ 600 juta dalam sembilan bulan per September 2024. Jika benar, maka lebih dari 75% dari angka yang dilaporkan adalah palsu.
Laporan FTI Consulting itu didasarkan pada lebih dari 20 wawancara dengan staf perusahaan dan tinjauan terhadap akun dan pesan di WhatsApp, Slack, dan saluran lainnya. Draf laporan tersebut mencatat para penyelidik belum berbicara dengan auditor atau meninjau kertas kerja audit atau dokumentasi lainnya. Angka-angka tersebut kemungkinan besar akan berubah lebih lanjut, karena laporan bank, wawancara, dan akun-akun lain masih belum ditemukan atau diselesaikan.
Pada tahun 2023 lalu, eFishery telah mencapai status unicorn (valuasi US$1 miliar) lewat pendanaan Seri D US$200 juta. Berdasarkan hasil audit baru-baru ini, manajemen memiliki dua laporan keuangan yang berbeda sejak 2018, yakni untuk kebutuhan internal dan eksternal.
Manipulasi yang dilakukan eFishery tak cuma dari laporan keuangan, tetapi juga klaim mantan CEO Gibran Huzaifah yang mengaku ke investor bahwa perusahaan memiliki lebih dari 400.000 fasilitas pakan. Padahal, kenyataan di lapangan hanya sekitar 24.000.
Gibran diduga sengaja memerintahkan penggelembungan biaya modal perusahaan untuk pembelian pakan. Menurut laporan audit, hal ini untuk menjustifikasi kondisi keuangan perusahaan yang terus merosot.
Upaya manipulasi Gibran dan timnya sejak 2018 dilakukan demi memperoleh pendanaan Seri A. Laporan menemukan pada 2022 ada pembentukan 5 perusahaan yang dikendalikan oleh Gibran tetapi atas nama orang lain.
Perusahaan ini berfungsi untuk pencatatan perputaran uang untuk menggenjot pendapatan dan pengeluaran perusahaan. Pada 2023, Gibran dan beberapa orang lain melancarkan upaya memalsukan dokumen-dokumen pendukung seperti invoice, kontrak, serta pembukuan bodong.
Penasihat yang menyelidiki dugaan penipuan akuntansi di perusahaan agritech Indonesia eFishery dikabarkan merekomendasikan investor membuat langkah antara melikuidasi atau restrukturisasi perusahaan tersebut. Keputusan penting ini diharapkan akan dilakukan pada bulan ini, menyusul krisis besar yang dihadapi oleh perusahaan rintisan tersebut.
Ditengah ketidakpastian, pihak yang paling terpukul adalah para karyawan. Kabarnya telah terjadi 100 pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan di tengah tantangan yang dihadapi perusahaan.
Dampak
eFishery selama ini dikenal memiliki sejumlah produk seperti eFeeder yang merupakan teknologi pemberi pakan otomatis yang berfokus pada efisiensi pakan dan pengurangan limbah yang mampu mempercepat masa panen serta meningkatkan pendapatan pembudidaya.
Selain itu, eFishery juga menghadirkan aplikasi eFisheryKu yang dirancang untuk membantu pembudidaya ikan di Indonesia dalam memajukan bisnis dan budidayanya, serta eFarm, yaitu aplikasi pengelolaan tambak udang yang didesain khusus untuk membantu petambak udang meningkatkan produktivitas dan kualitas panen.
Kehadiran eFishery pun diklaim turut memberikan kontribusi terhadap industri akuakultur di Indonesia.
Pada 2023, eFishery menggandeng Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI untuk meriset dampak kehadirannya bagi para pembudidaya. Hasil riset itu menyatakan terjadi peningkatan pendapatan usaha dan keuntungan para petani melalui produk dan layanan digital, hingga peningkatan hasil budidaya panen melalui pengaplikasian teknologi yang lebih efektif dan efisien dalam sektor akuakultur di Indonesia.
Riset itu mengungkapkan eFishery berkontribusi sebesar Rp3,4 triliun atau setara dengan 1,55% terhadap PDB sektor akuakultur Indonesia 2022. Selain itu, produk unggulan digital eFishery meningkatkan keuntungan petani sektor akuakultur sebesar 34,1%.
Berdasarkan klasifikasi jumlah tenaga kerja, rata-rata pendapatan usaha di sektor medium, large, dan small paling terpengaruh setelah bergabung dengan eFishery. Segmen medium dengan jumlah pekerja dari 20 hingga 100 orang tumbuh secara signifikan sebesar 88,7 persen.
eFishery juga diklaim berkontribusi terhadap peningkatan pendapatan individu sebesar 41,5% pada ekosistemnya, yang terdiri dari pembudidaya ikan sebesar 29,3% (Rp2,8 juta) setelah bergabung dengan eFishery dan petambak udang mengalami kenaikan yang sangat signifikan yaitu sebesar 90,6% atau hampir dua kali lipat (Rp25,9 juta) setiap bulannya.
Melihat penterasi dari eFishery, jika perusahaan ini runtuh, sudah tentu para petambak bisa kehilangan akses terhadap inovasi yang telah membantu meningkatkan produktivitas. Kepercayaan terhadap adopsi teknologi dalam sektor perikanan pun bisa merosot drastis, menghambat digitalisasi yang seharusnya membawa sektor ini ke arah yang lebih modern dan efisien.
Lebih jauh, skandal ini juga dapat menghambat investasi ke startup akuakultur lainnya. Investor yang sebelumnya tertarik mendanai inovasi di sektor ini kemungkinan akan berpikir dua kali sebelum menyalurkan modalnya.
Kasus ini seperti menjustifikasi stigma negatif terhadap startup yang hanya mengejar valuasi tanpa fondasi bisnis yang sehat.
Skandal eFishery semakin memperparah kondisi ini. Kepercayaan investor global terhadap startup lokal bisa tergerus, terutama di sektor agritech yang sebelumnya dianggap sebagai salah satu pilar pertumbuhan ekonomi digital Indonesia. Jika kepercayaan ini hilang, pendanaan bagi startup tahap awal (early-stage) di sektor yang sama bisa semakin sulit didapatkan.
Kasus eFishery bukan sekadar skandal keuangan biasa. Ini adalah peringatan keras bagi industri startup Indonesia bahwa pertumbuhan harus didukung oleh fundamental bisnis yang sehat, bukan sekadar angka-angka yang dimanipulasi demi menarik investor.
Jika Indonesia ingin tetap menjadi pusat inovasi teknologi di Asia, kasus ini harus menjadi titik balik untuk membangun kembali kepercayaan global terhadap startup lokal. Ke depan, hanya startup dengan tata kelola yang kuat, model bisnis yang jelas, dan kepatuhan terhadap regulasi yang akan bertahan dalam kompetisi.
@IndoTelko