Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan aturan baru bagi Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) atau Pinjaman Daring (Pindar) dan Buy Now Pay Later (BNPL) guna mendorong pertumbuhan industri jasa keuangan serta pelindungan konsumen.
Melalui Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 19/SEOJK.05/2023 tentang Penyelenggaraan Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (SEOJK 19/2023) mengatur antara lain bahwa penetapan batas maksimum manfaat ekonomi dapat dilakukan evaluasi secara berkala sesuai kebijakan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan dengan mempertimbangkan antara lain kondisi perekonomian dan perkembangan industri LPBBTI.
Terhitung sejak 1 Januari 2025 penetapan batas maksimum manfaat ekonomi LPBBTl per hari disesuaikan.
Angkanya dikisaran 0,1% hingga 0,3%. Detailnya, untuk pinjaman produktif: Mikro dan Ultra Mikro: Pinjaman lebih dari enam bulan: 0,275% per hari Pinjaman kurang dari enam bulan: 0,1% per hari Kecil dan Menengah: 0,1% per hari. Untuk konsumtif: Pinjaman lebih dari enam bulan: 0,3% per hari Pinjaman kurang dari enam bulan: 0,2% per hari.
Sementara dalam rangka meningkatkan kualitas pendanaan, menciptakan ekosistem industri yang tumbuh sehat, efisien dan berkelanjutan, pelindungan konsumen/masyarakat, serta meminimalisir potensi risiko hukum dan reputasi bagi pelaku industri LPBBTI, maka dipandang perlu untuk melakukan penguatan pengaturan mengenai LPBBTI yang mencakup:
Batas usia minimum Pemberi Dana (Lender) dan Penerima Dana (Borrower) adalah 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah, dan penghasilan minimum Penerima Dana LPBBTI adalah Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) per bulan. Kewajiban pemenuhan atas persyaratan/kriteria Pemberi Dana dan Penerima Dana dimaksud efektif berlaku terhadap akuisisi Pemberi Dana dan Penerima Dana baru, dan/atau perpanjangan, paling lambat tanggal 1 Januari 2027.
Pemberi Dana akan dibedakan menjadi Pemberi Dana Profesional dan Pemberi Dana Non Profesional.
1) Pemberi Dana Profesional terdiri atas:
a. Lembaga jasa keuangan;
b. Perusahaan berbadan hukum Indonesia/asing;
c. Orang perseorangan dalam negeri (residen) yang memiliki penghasilan di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) per tahun, dengan maksimum penempatan dana sebesar 20% (dua puluh persen) dari total penghasilan per tahun pada 1 (satu) Penyelenggara LPBBTI;
d. Orang perseorangan luar negeri (non residen);
e. Pemerintah pusat, pemerintah daerah, atau pemerintah asing; dan/atau
f. Organisasi multilateral.
2) Pemberi Dana Non Profesional adalah selain angka 1) di atas, dan orang perseorangan dalam negeri (residen) yang memiliki penghasilan sama dengan atau di bawah Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) per tahun, dengan maksimum penempatan dana sebesar 10% (sepuluh persen) dari total penghasilan per tahun pada 1 (satu) Penyelenggara LPBBTI.
Porsi nominal outstanding pendanaan oleh Pemberi Dana Non Profesional sebagaimana huruf b angka 2) dibandingkan total nominal outstanding pendanaan maksimum 20% (dua puluh persen), yang berlaku paling lambat tanggal 1 Januari 2028.
Selain itu, OJK saat ini sedang mempersiapkan pengaturan terkait dengan skema Buy Now Pay Later bagi Perusahaan Pembiayaan (PP BNPL). Hal ini antara lain dalam rangka menguatkan pelindungan konsumen dan masyarakat dan mengantisipasi potensi terjadinya jebakan hutang (debt trap) bagi pengguna PP BNPL yang tidak memiliki literasi keuangan yang cukup memadai dalam menggunakan produk dan layanan keuangan, serta sekaligus guna pengembangan dan penguatan industri Perusahaan Pembiayaan.
Pokok-pokok pengaturan ini mencakup, antara lain pembiayaan PP BNPL hanya diberikan kepada nasabah/debitur dengan usia minimal 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah dan memiliki pendapatan minimal sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) per bulan. Kewajiban pemenuhan atas persyaratan/kriteria nasabah/debitur dimaksud efektif berlaku terhadap akuisisi nasabah/debitur baru, dan/atau perpanjangan pembiayaan PP BNPL, paling lambat tanggal 1 Januari 2027.
Selanjutnya, Perusahaan Pembiayaan yang menyelenggarakan kegiatan BNPL harus menyampaikan notifikasi kepada nasabah/debitur mengenai perlunya kehati-hatian dalam penggunaan BNPL, termasuk pencatatan transaksi debitur di dalam Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK).
Kondisi
Menurut Riset EY (MSME Market Study and Policy Advocacy), potensi credit gap tahun 2026 semakin membesar menjadi 2.400 triliun rupiah per tahun. Hal ini merupakan gambaran peluang bisnis yang besar sekaligus sebagai tantangan bagaimana para pemangku kepentingan dapat memberikan akses pembiayaan alternatif, termasuk bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia.
Pindar hadir untuk menjawab kebutuhan ini dengan menjangkau kelompok unbanked dan underserved, termasuk virgin user yang belum memiliki akses ke produk keuangan formal. Berbeda dengan layanan keuangan tradisional, Pindar memiliki mandat untuk menyediakan pendanaan bagi masyarakat di luar ekosistem formal, sehingga memberikan kesempatan bagi lebih banyak orang untuk belajar mengelola keuangan mereka melalui pendanaan kecil dengan tenor pendek.
Kehadiran Pindar telah memberikan kontribusi signifikan terhadap ekonomi nasional. Tercatat hingga September 2024, industri ini telah menyalurkan akumulasi pendanaan sebesar Rp978,4 triliun kepada 137,35 juta borrower.
Keseimbangan
Sekilas, aturan baru tampak sebagai upaya positif untuk mencegah eksploitasi terhadap masyarakat berpenghasilan rendah. Namun, dampak di lapangan mungkin tidak sesederhana itu.
Dengan adanya persyaratan lebih ketat, banyak calon peminjam yang sebelumnya mengandalkan fintech untuk kebutuhan mendesak bisa kehilangan akses kredit. Hal ini berisiko mendorong mereka ke pinjaman ilegal yang justru lebih berbahaya karena tidak terikat regulasi.
Di sisi industri, aturan ini memaksa platform Pindar untuk melakukan penyesuaian besar-besaran. Model bisnis berbasis bunga tinggi yang selama ini menjadi andalan fintech harus diubah. Pemain kecil yang tidak memiliki cukup modal untuk menyesuaikan diri mungkin akan kesulitan bertahan, berpotensi mendorong konsolidasi industri atau bahkan memicu gelombang penutupan layanan.
Namun, regulasi ini juga bisa menjadi pemicu inovasi. Fintech mungkin akan lebih kreatif dalam menggunakan teknologi alternatif untuk penilaian kredit, seperti analisis data perilaku digital atau sistem kredit berbasis komunitas. Kolaborasi dengan bank dan lembaga keuangan lain juga bisa semakin meningkat sebagai strategi bertahan di tengah regulasi ketat.
Indonesia bukan satu-satunya negara yang memperketat regulasi fintech. Singapura, Malaysia, dan Thailand juga memiliki batasan suku bunga dan persyaratan ketat bagi peminjam. Namun, yang membedakan adalah bagaimana regulasi tersebut diterapkan tanpa menghambat akses kredit secara berlebihan.
Di Malaysia, misalnya, batas suku bunga untuk pinjaman fintech hanya 18% per tahun, jauh lebih rendah dibandingkan batas harian yang masih diterapkan di Indonesia. Sementara di Filipina, meskipun batas suku bunga harian lebih tinggi, negara tersebut masih menghadapi maraknya pinjaman ilegal akibat lemahnya pengawasan. Indonesia harus belajar dari negara-negara ini untuk menyeimbangkan perlindungan konsumen dengan tetap memastikan inklusi keuangan tetap berjalan.
Kebijakan ini bisa menjadi langkah awal yang baik untuk membangun industri fintech yang lebih sehat. Namun, tanpa pengawasan ketat, aturan ini bisa menjadi bumerang yang justru mendorong maraknya pinjaman ilegal. OJK dan regulator lainnya harus memastikan bahwa implementasi kebijakan ini tetap memungkinkan akses kredit yang inklusif, terutama bagi kelompok yang paling membutuhkan.
Jika tidak, niat baik untuk melindungi konsumen bisa berubah menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi digital, dan fintech yang seharusnya menjadi solusi justru bisa kehilangan relevansinya.
@IndoTelko