JAKARTA (IndoTelko) - Revisi Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) bertujuan untuk memberikan tata kelola internet yang lebih baik agar Indonesia lebih kompetitif di era ekonomi digital.
"Revisi UU ITE itu untuk tata kelola yang lebih baik bagi perkembangan industri internet Indonesia. Contohnya, di revisi Pasal 27 yang kita kurangi lama hukuman agar orang yang dijadikan tersangka tak ditahan langsung," ungkap Menkominfo Rudiantara kala menerima Tim IndoTelko.com di ruangannya, Selasa (29/11).
Pria yang akrab disapa RA itu menegaskan, internet bukanlah ruang hampa. "Penggunaan internet tentu menuntut tanggungjawab dari penggunanya. Contoh di media sosial, kita harus selektif dalam memilah berita. Cek dan ricek itu wajib dong," katanya.
Diharapkannya, kehadiran revisi UU ITE tak menjadikan masyarakat menjadi alergi dalam bersosialisasi di media sosial. "Sarana media sosial banyak positifnya, setiap orang bisa bersosialisasi kepada banyak orang dengan waktu yang efektif, sarana yang efektif untuk memberitahukan sebuah informasi, atau dapat menjadi sarana pendidikan. Tetapi kalau tak hati-hati penggunaan media sosial bisa negatif, waktu produktif menjadi terbuang," ingatnya.
Lima Poin
Sementara Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo, Semuel A. Pangerapan, memaparkan lima poin utama yang diubah dalam Revisi Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Poin pertama yang diubah dalam Revisi UU ITE tersebut adalah menghindari serta merta penahanan dengan menurunkan pidana penjara dari 6 (enam) tahun menjadi 4 (empat) tahun.
Menurut Semuel, terdapat poin di UU yang menyebutkan bahwa jika tuntutan lebih dari 5 tahun, penegak hukum berhak melakukan penahanan. Perubahan ini dibuat agar pihak pelapor dan terlapor memiliki kedudukan yang sama hingga dapat dibuktikan di pengadilan siapa yang benar.
Sementara poin kedua adalah terkait “right to be forgotten”, atau hak untuk dilupakan. Semuel menjelaskan bahwa hal ini harus melalui ketetapan pengadilan, sesuai amanat UU.
“Mekanisme penerapannya masih dalam tahap open discussion karena harus menyesuaikan dengan kondisi masyarakat di Indonesia,” jelasnya.
Detail dari mekanisme penerapan tersebut, lanjut Semuel, akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) dan dipastikan tidak akan melanggar UU lainnya. “Ini tidak ditujukan untuk menyensor kebebasan pers,” tutur Semuel.
Lalu poin ketiga adalah memberi perlindungan masyarakat dari konten negatif. Terdapat dua cara, yaitu perlindungan dari segi pembatasan akses penyebaran dan dari segi pendidikan. Dalam hal konten, pemerintah selalu mendapat masukan dari berbagai pihak terutama terkait konten pornografi dan judi.
“Memang sulit memisahkan konten dalam satu jaringan yang besar ini, di mana semua umur bisa mengakses hal apapun, ditambah lagi keberadaan search engine yang justru semakin memudahkan akses tersebut. Yang paling tepat, adalah pemerintah melintasi akses terhadap konten-konten yang dikategorikan negatif, terutama pornografi, kekerasan, dan judi," katanya.
Semuel juga menjelaskan bahwa dalam hal pemblokiran, setiap lembaga pemerintahan yang punya wewenang berhak mengajukan pemblokiran. Hanya masyarakat yang harus melewati panel.
“Saat ini masih boleh, dari kepolisian, BIN, boleh, punya hak memang. Nantinya saya mau semua lewat panel, lembaga boleh mengajukan tapi harus tetap dibahas lewat panel. Agar ada crosscheck and balance nya, karena mungkin knowledgenya berbeda,” jelas Semuel.
Pemerintah juga rencananya akan menerapkan sistem filtering terpadu berskala nasional. Saat ini sistem tersebut tinggal menunggu pengesahan. "Direncanakan diluncurkan pada 2017. Kita akan bermitra dengan penyedia jasa layanan internet (ISP) untuk melakukan hal ini,"katanya.
Selain bermitra dengan ISP, pemerintah juga akan melakukan pembicaraan dengan OTT asing, seperti Facebook, Google, dan Twitter. Nantinya, sistem penapisan terpadu akan menjadi pendukung program Kominfo yang sudah berjalan sebelumnya, seperti Whitelist dan Trust Postif.
Sementara itu poin keempat adalah mengadopsi putusan MK dengan mengubah pengaturan tata cara intersepsi atau penyadapan, dari yang sebelumnya diatur dalam Peraturan Pemerintah menjadi Undang-Undang.
Poin terakhir yang diubah dalam Revisi UU ITE adalah penegasan bukti hukum yang sah dari hasil intersepsi adalah intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan aparat penegak hukum.
Semuel juga menyampaikan tanggapannya terkait beredarnya berita palsu (hoax). Terhadap berita hoax, menurutnya, ada dua hal yang harus diperhatikan. Pertama adalah siapa yang memberitakan, dan yang kedua adalah bagaimana masyarakat membacanya, yang membutuhkan knowledge tersendiri.
"Masyarakat harus dibiasakan bahwa begitu masuk ke dunia digital, jangan langsung percaya sampai ia bisa membuktikan bahwa informasi yang ia baca tersebut benar, atau berasal dari sumber yang jelas. Harus check, and recheck, and recheck,” tegas Semuel.
Anggota Komisi 1 DPR RI Sukamta menilai revisi UU ITE tersebut lebih manusiawi. Hal itu terlihat dari adanya pengurangan masa tahanan yang semula maksimal 6 tahun menjadi paling lama 4 tahun atau denda dari Rp1 miliar menjadi Rp750 juta.
"Revisi UU ITE ini sebenarnya lebih manusiawi karena masa hukuman dan denda telah dikurangi dari enam tahun menjadi empat tahun sehingga tidak bisa langsung dipenjara," tuturnya.
Ditegaskannya, revisi UU ITE ini tetap dapat memberikan ruang kebebasan berekspresi bagi masyarakat, namun dengan perilaku yang lebih elegan. "Revisi UU ITE lebih mengupayakan kepada tidak ada penyalahgunaan seperti memeras, menghina dan menjadikan dunia maya sama-sama sehat seperti dunia nyata," tutupnya.(id)