JAKARTA (IndoTelko) – Bank Indonesia (BI) mengharapkan kehadiran Fintech Office dalam mengakselerasi bisnis digital di Indonesia.
Gubernur Bank Indonesia, Agus D.W. Martowardojo menjelaskan Fintech Office merupakan wadah asesmen, mitigasi risiko, dan evaluasi atas model bisnis dan produk/layanan dari Fintech, serta inisiator riset terkait kegiatan layanan keuangan berbasis teknologi.
“Pembentukan Fintech Office didasari kesadaran Bank Indonesia, sebagai otoritas sistem pembayaran, mengenai perlunya mendukung perkembangan transaksi keuangan berbasis teknologi yang sehat. Hal ini dilakukan dengan menjaga keseimbangan antara inovasi dan pengelolaan risiko, menyusun regulasi yang mengedepankan perlindungan konsumen, serta memperkuat koordinasi dengan pihak-pihak terkait,” katanya dalam keterangan resmi, kemarin.
Bank Indonesia Fintech Office didirikan dengan empat tujuan utama. Pertama, memfasilitasi perkembangan inovasi dalam ekosistem keuangan berbasis teknologi di Indonesia.
Kedua, mempersiapkan Indonesia untuk mengoptimalkan perkembangan teknologi dalam rangka pengembangan perekonomian. Ketiga, meningkatkan daya saing industri keuangan berbasis teknologi Indonesia. Keempat, menyerap informasi dan memberikan umpan balik untuk mendukung perumusan kebijakan Bank Indonesia, sebagai respons terhadap perkembangan berbasis teknologi.
Untuk mencapai tujuan utama tersebut, Fintech Office akan beroperasi dengan 4 fungsi, yaitu fungsi katalisator atau fasilitator, fungsi business intelligence, fungsi asesmen, serta fungsi koordinasi dan komunikasi.
Bank Indonesia Fintech Office dilengkapi pula dengan regulatory sandbox, yang memungkinkan unit usaha fintech melakukan kegiatan secara terbatas, tentunya setelah memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Regulatory sandbox diberlakukan agar pelaku fintech, yang kebanyakan adalah perusahaan startup dengan skala kecil, mendapatkan kesempatan untuk mematangkan konsep dan berkembang dengan sehat serta pada waktunya mampu menyediakan layanan finansial yang aman kepada masyarakat.
Dengan regulatory sandbox, Fintech Office akan menjadi ujung tombak BI dalam memahami fintech untuk selanjutnya menyediakan pengaturan yang mampu memberikan dukungan optimal bagi perkembangannya. BI Fintech Office juga juga akan menjadi wadah untuk pertukaran ide inovatif antara pelaku Fintech sekaligus kolaborasi antar pelaku Fintech dan regulator.
Aturan BI
Untuk mendukung pelaksanaan fintech di Indonesia, khususnya terkait perlindungan konsumen, Bank Indonesia juga telah mengeluarkan peraturan mengenai penyelenggaraan transaksi pembayaran, melalui Peraturan Bank Indonesia No. 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran.
Peraturan tersebut merupakan salah satu bentuk komitmen Bank Indonesia untuk mendukung pelaksanaan pembayaran transaksi eCommerce yang lebih aman dan efisien.
Melalui ketentuan tersebut, Bank Indonesia mengatur, memberikan izin dan mengawasi penyelenggaraan jasa sistem pembayaran yang dilakukan oleh Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, serta Penyelenggara Transfer Dana, Penyelenggara Payment Gateway, Penyelenggara Transfer Dana, dan Penyelenggara Dompet Elektronik
Sedangkan Penyelenggara Penunjang merupakan pihak yang menunjang terlaksananya pemrosesan transaksi pembayaran di seluruh tahapan pemrosesan transaksi, yang antara lain terdiri dari perusahaan yang menyelenggarakan: pencetakan kartu, personalisasi pembayaran, penyediaan data center, penyediaan terminal antara lain Automated Teller Machine (ATM), Electronic Data Capture (EDC), dan/atau reader, penyediaan fitur keamanan instrumen pembayaran dan/atau transaksi pembayaran, penyediaan teknologi pendukung transaksi nirkontak (contactless), dan penyediaan penerusan (routing) data pendukung pemrosesan transaksi pembayaran.
Hal yang menarik dari aturan ini adalah pihak yang mengajukan izin untuk menjadi Prinsipal, Penyelenggara Switching, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir harus berbentuk perseroan terbatas yang paling sedikit 80% sahamnya dimiliki oleh warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia.
Selain itu Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran dilarang melakukan pemrosesan transaksi pembayaran dengan menggunakan virtual currency. Menyalahgunakan data dan informasi nasabah maupun data dan informasi transaksi pembayaran.
Memiliki dan/atau mengelola nilai yang dapat dipersamakan dengan nilai uang yang dapat digunakan di luar lingkup Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang bersangkutan.
Adapun pihak yang telah menyelenggarakan kegiatan Switching, Payment Gateway, dan/atau Dompet Elektronik sebelum PBI ini berlaku dan belum memperoleh izin dari Bank Indonesia wajib mengajukan izin kepada Bank Indonesia paling lambat enam bulan sejak PBI ini berlaku.
Meroket
Sementara Kepala Kebijakan Sistem Pembayaran dan Pengawasan Departemen BI Eni V Panggabean mengungkapkan nilai transaksi fintech telah mencapai US$14 miliar di Indonesia dalam 8 bulan terakhir.
“Data statistik mencatat nilai transaksi Fintech sebesar US$ 14 miliar atau 0,6% dari total transaksi mitra global US$ 2356 miliar, angka ini diproyeksi makin besar ke depan," kata Eni.
BI mendeteksi ada 100 perusahaan fintech yang berkutat dalam bisnis Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran (PPTP).
Sebelumnya, Direktur Pelaksana IDC Financial Insight, Cyrus Daruwala, memprediksi perkembangan industri fintech akan tetap lambat jika pemerintah tak berinvestasi lebih dalam bidang riset dan pengembangan (R&D).
"Akses terhadap modal atau pendanaan jadi pembeda yang sangat signifikan dalam perkembangan bisnis fintech di Indonesia dibanding negara tetangga di Asia Pasifik," ujar Cyrus.
Menurut Cyrus, akses terhadap modal yang diinisiasi oleh pemerintah akan menciptakan ekosistem industri startup, khususnya fintech.
Selain itu, Lembaga keuangan Indonesia juga dinilai begitu hati-hati terhadap data tempat tinggal nasabah. Regulasi Indonesia tak mengizinkan data tempat tinggal nasabah disimpan di server luar negeri. Regulasi yang begitu ketat tersebut dinilai memperlambat proses tumbuh-kembang industri fintech. Validasi, revalidasi, dan persetujuan bisnis berjalan melalui koridor lebih rumit.
Kebijakan otoritas Indonesia dalam konteks ini masuk ke kategori paling aman dalam perlindungan data konsumen. Sehingga mengharapkan kebijakan keuangan mengendur demi iklim industri fintech diyakini sulit terjadi.
Secara sederhana ada dua dampak positif dan negatif yang muncul dari regulasi ketat di Indonesia. Positifnya, perlindungan data konsumen berada di kondisi yang sangat aman. Namun, ketatnya aturan justru membunuh kreativitas dan inovasi berbagai startup fintech.
RPOJK
Asal tahu saja, Fintech tak hanya harus mengikuti aturan dari Bank Indonesia. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga tengah menyiapkan Peraturan OJK tentang Layanan Pinjam Meminjam uang berbasis Teknologi.
Dalam regulasi ini akan ditetapkan besaran modal minimum untuk pemain fintech disesuaikan dengan bisnis yang dijalankan. Fintech yang bermain di bisnis peer-to-peer lending akan tertinggi batas modal minimumnya dibandingkan bisnis fintech lainnya.
Dalam catatan OJK, dari 120 layanan fintech, total asetnya mencapai Rp 100 miliar, sekitar 51 perusahaan bermain di sistem pembayaran, 18 perusahaan P2P, dan sisanya di bidang lainnya.
Di regulasi yang tengah dirancang OJK, Kepemilikan saham Penyelenggara FinTech Lending oleh warga negara asing dan/atau badan usaha asing paling banyak 85%.
Selain itu, Penyelenggara FinTech Lending wajib memenuhi ketentuan permodalan pada saat pendaftaran paling sedikit Rp2 miliar. dan wajib meningkatkan ketentuan permodalan pada saat pengajuan izin usaha paling sedikit Rp5 miliar.
Sedangkan Pemberi Pinjaman hanya dapat memberikan pinjaman kepada setiap Penerima Pinjaman paling banyak 20% dari dana yang dimiliki pemberi pinjaman.
Tak hanya itu, Penyelenggara FinTech Lending hanya dapat mempertemukan kegiatan pinjam meminjam dengan tingka pinjam meminjam dengan tingka pinjam meminjam dengan tingka pinjam meminjam dengan tingka pinjam meminjam dengan tingka pinjam meminjam dengan tingkat suku bunga secara proporsional paling tinggi 7 kali dari BI 7-day Repo Rate per tahun.
Dalam RPOJK ini juga diatur soal Penyelenggara FinTech Lending wajib menempatkan pusat data dan pusat pemulihan bencana di Indonesia.
Ditambah dengan kesepakatan pinjam meminjam antara Penyelenggara FinTech Lending dengan Pengguna FinTech Lending, investor, atau pihak lain dengan menggunakan tanda tangan elektronik (digital signature), wajib dilaksanakan dengan mematuhi ketentuan atau peraturan yang berhubungan dengan tanda tangan elektronik (digital signature).(id)