JAKARTA (IndoTelko) - Saham milik Telkom Indonesia tetap menjadi pilihan utama untuk sektor telekomunikasi di tengah tren terdepresiasinya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS di kuartal pertama 2018.
Analis dari miraeasset Darmawan Halim dalam kajian yang dikeluarkannya (9/3) lalu mengkalkulasi rupiah terdepresiasi 3-4% (Month on Month/MoM) di Febuari, dengan USD/IDR menjadi 13.700 dan 13.800 (vs. 13.300 di Januari). Depresiasi Year to Date (YTD) (vs. 13.555 di Desember 2017) hanya 1-2%.
Dampak bisnis dari Rupiah yang melemah bervariasi menurut sektor. Misal, eksportir dan pendapatan dalam dollar AS seperti pertambangan (batubara, logam, minyak), perkebunan, dan alat berat - diuntungkan karena pendapatan dalam Dollar AS atau USD-linked. Dampak pada perbankan, telco, properti, dan konstruksi di sisi operasi relative terbatas.
Dampak pada sektor konsumen umumnya akan negatif, mengingat eksposur dollar AS dalam bahan baku (komoditas, kemasan, dll.), dan fakta beberapa perusahaan ritel mengimpor barang dagangannya.
"Hitungan cepat kami menunjukkan dampak minimal, dengan pelemahan 1% dari rupiah hanya menyebabkan pelemahan 0,13% pada laba, karena sebagian besar perusahaan telah melakukan lindung nilai sebagian besar eksposur mereka," tulisnya dalam kajian itu.
Disarankannya investor melakukan pendekatan selektif buy-on-weakness. "Kami menyukai saham komoditas (USD-earners), meskipun kenaikan baru-baru ini membuat mereka rentan terhadap aksi ambil untung. Dengan demikian, kami memilih sektor/saham tertinggal seperti ritel (RALS, ACES), media (MNCN, SCMA), logam (ANTM), dan telco (TLKM), bersama beberapa nama defensif seperti BBCA, GGRM, dan JSMR," tutupnya.
Khusus saham milik Telkom, dalam pantauan IndoTelko di Bursa Efek Indonesia (BEI) sejak (8/3) pelan-pelan mengalami kenaikan setelah pada (7/3) bertengger di kisaran Rp4 ribu per lembar.
Pada perdagangan (12/3), saham dengan kode TLKM ditutup di Rp4,200 dan di sesi perdagangan pertama (13/3) di Rp4,150 per lembar.(id)