JAKARTA (IndoTelko) -Fitch Ratings telah mengafirmasi Peringkat Jangka Panjang Mata Uang Asing dan Mata Uang Lokal Issuer Default Ratings (IDR) dan peringkat senior unsecured rating dari perusahaan menara telekomunikasi, PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG), di ‘BB-’.
Secara bersamaan, Fitch Ratings Indonesia juga telah mengafirmasi Peringkat Nasional Jangka Panjang dan Peringkat nasional senior unsecured di ‘AA- (idn)’. Outlook adalah Stabil.
Fitch Ratings Indonesia juga telah menetapkan Peringkat Nasional Jangka Panjang ‘AA-(idn)’ pada program obligasi TBIG sebesar Rp7 triliun dan obligasi tahap pertama sejumlah maksimum Rp700 miliar yang menjadi bagian dari program obligasi ini. Tower Bersama akan menggunakan hasil dari penerbitan untuk membayar utang.
Dalam keterangannya dinyatakan peringkat Nasional 'AA' mencerminkan ekspektasi akan resiko gagal bayar yang relatif rendah terhadap perusahaan atau obligasi yang diterbitkan di negara yang sama. Resiko gagal bayar tersebut pada dasarnya hanya sedikit berbeda dari peringkat perusahaan atau obligasi tertinggi di negara yang bersangkutan.
Katalis
Adapun beberapa katalis bagi Tower Bersama di tahun ini adalah
Deleveraging Lambat: Fitch berekspektasi FFO adjusted net leverage TBI tetap berkisar di 6,0x di 2018-2020 (2017: 6,0x) karena kebijakan shareholder return yang agresif terus membebani arus kas bebas (FCF) yang sudah dibebani oleh tingginya biaya pendanaan dan belanja modal. Perkiraan EBITDA 2018 berada di sekitar Rp3,7 triliun (2017: Rp3,5 triliun) kemungkinan tidak cukup untuk membiayai dividen tahunan, share buybacks, pembayaran bunga tahunan sebesar Rp1,8 triliun, dan belanja modal sekitar Rp1,6 triliun.
Perusahaan berencana untuk beroperasi dengan leverage di bawah 5,5x, yang diukur dengan gross debt/EBITDA tahunan kuartal terakhir (akhir-2017: 5,1x), yang lebih rendah dari kovenan obligasi sebesar 6,25x. TBIG melakukan kembali program share buyback pada 27 April 2018 untuk membeli kembali saham hingga maksimal Rp1,2 triliun selama 18 bulan ke depan.
Jaringan 4G
Diperkirakan jaringan 4G bisa menggerakkan pertumbuhan dari perusahaan menara ini.
Pendapatan TBIG kemungkinan akan meningkat dengan satu digit menengah-hingga-tinggi pada 2018 dan 2019, didorong oleh ekspansi jaringan 4G yang cepat setelah melakukan spectrum conclusion di Oktober 2017. Penyewa menara terbesarnya, Telkomsel, memenangkan 30 MHz blok spektrum dari total 2300 MHz. TBIG memiliki eksposur terbesar ke Telkomsel di antara tiga perusahaan menara independen terbesar di Indonesia, dengan 45% pendapatan dari operator itu.
Visibilitas Pendapatan: Perjanjian sewa jangka panjang TBIG memberikan visibilitas dan stabilitas arus kas. Total pendapatan yang terkunci adalah sekitar US$1,7 miliar pada akhir-2017 dan rata-rata sisa masa kontrak adalah sekitar 5,7 tahun.
Fitch melihat risiko non-renewal cukup rendah, karena menara adalah infrastruktur yang sangat penting bagi perusahaan telekomunikasi, yang menghindari relokasi peralatan untuk meminimalkan gangguan layanan. Namun demikian, sewa menara bulanan rata-rata dapat berada di bawah tekanan karena kontrak sewa berakhir, yang sebagian besar akan berlangsung setelah 2020.
Risiko Counterparty dan Forex Terkelola: Peringkat TBIG juga mencerminkan risiko counterparty yang rendah.
Selain itu, TBIG mengurangi risiko mata uang dengan sepenuhnya melakukan lindung nilai eksposur dolar AS. Perusahaan juga memiliki pendapatan tahunan dalam denominasi dolar AS sebesar US$40 juta dari Indosat. Piutang dari Internux turun menjadi Rp104 miliar pada akhir-2017 (akhir-2016: Rp125 miliar) dan ekposur pendapatan dibatasi hanya 2,5% dari pendapatan TBI.
Struktural Subordinasi Menurun: Obligasi TBI diperingkat pada tingkat yang setara dengan IDR, meskipun terdapat subordinasi struktural terhadap hutang yang dimiliki oleh anak-anak perusahaan operasional - yang menghasilkan semua pendapatan grup.
Rasio utang/EBITDA grup sebelum subordinasi sebesar 3,6x pada akhir-2017 terbilang tinggi tinggi, tetapi kami memperkirakan tingkat subordinasi struktural akan turun seiring waktu karena TBI secara bertahap menggantikan utang pada perusahaan operasinya dengan utang di perusahaan induk. Khususnya, dana hasil dari program obligasi yang diterbitkan akan digunakan untuk membayar kembali utang yang ada di anak perusahaan.
Peringkat TBIG mencerminkan stabilitas arus kas, didukung oleh kontrak sewa menara jangka panjang dan margin EBITDA yang kuat, sehingga menjustifikasi metrik leverage yang lebih tinggi daripada perusahaan-perusahaan diperingkat lainnya.
Peringkat juga didukung oleh pertumbuhan organik TBIG yang kuat dan risiko counterparty yang lebih rendah dibandingkan dengan kompetitor domestik - operator menara independen terbesar di Indonesia, Protelindo, dan perusahaan menara independen terbesar ketiga, Solusi Tunas Pratama (STP).
Namun, peringkat dibatasi oleh neraca TBIG yang lebih lemah karena kebijakan shareholder return yang agresif. FFO adjusted net leverage yang mendekati 6,0x terbilang tinggi dibandingkan dengan batas downgrade peringkat Protelindo di 3,0x dan STP di 5,5x.(wn)