Jika dibandingkan dengan sejumlah negara Asia lain, peringkat daya saing digital Indonesia tercatat masih lebih baik dari India (51) dan Turki (55). Pasalnya, peringkat daya saing digital kedua negara ini terus turun dalam lima tahun terakhir.
Riset IMD WDCR 2024 dilakukan oleh IMD World Competitiveness Center (WCC) berdasarkan data keras dan survei. Untuk mengukur kelebihan dan kekurangan daya saing digital suatu negara, WCC menggunakan 52 kriteria yang digunakan untuk menentukan peringkat.
Faktor-faktor itu lantas dikelompokkan menjadi tiga pilar utama, yaitu pengetahuan, teknologi, dan kesiapan masa depan. Ketiga faktor ini diyakini menjadi penentu tingkat inovasi, inklusi dan transformasi digital suatu negara. Menurut Kepala Ekonom WCC Christos Cabolis, untuk meningkatkan daya saing digital, negara harus menyeimbangkan ketiga faktor tersebut.
Dari 52 kriteria penilaian untuk memeringkatkan daya saing suatu negara, kecepatan internet pita lebar Indonesia tergolong sangat lambat dan hanya menempati peringkat 66 dari 67 negara. Indonesia tercatat masih perlu perbaikan untuk meningkatkan jumlah pengguna internet yang ada di peringkat 64, pembajakan software (peringkat 63), pendidikan dan pelatihan teknologi (peringkat 63), dan jumlah artikel riset kecerdasan buatan (artificial intellegence/ AI) yang terbit di jurnal scopus (63).
Keberhasilan daya saing digital Indonesia naik dua peringkat tahun ini didongkrak oleh tingginya angka investasi teknologi. Indonesia mencatat prestasi gemilang untuk teknologi dari layanan perbankan dan finansial (peringkat 2), investasi telekomunikasi (peringkat 3), dan pemodal ventura (venture capital) untuk perusahaan teknologi (peringkat 5).
Untuk kesiapan masa depan (future readiness), Indonesia dinilai punya kelincahan bisnis (business agility) yang sukses menempati peringkat 10. Selain itu, masifnya pemanfaatan analisa big data (peringkat 2) turut mengerek naik peringkat Indonesia di antara negara lain di dunia.
Di kesempatan yang sama, Ekonom Senior WCC, Jose Caballero menyampaikan soal isu kesenjangan digital yang memang menjadi isu krusial di banyak negara berkembang. “Indonesia termasuk didalamnya. Hal ini terlihat dari rendahnya jumlah pengguna internet broadband yang kemungkinan besar disebabkan oleh tidak meratanya layanan internet di beberapa daerah,” katanya.
Selain akibat tidak meratanya akses internet berkecepatan tinggi, kesenjangan digital yang jadi masalah krusial di 2025 juga terjadi akibat ketersediaan listrik yang tidak dapat diandalkan, dan kurangnya ketersediaan jaringan telekomunikasi modern. Ketiadaan akses ini membuat terbatasnya partisipasi warga di pedesaan dan daerah terpencil untuk ikut memanfaatkan ekonomi digital. (mas)