Ilustrasi (DOK)
Nilai tukar rupiah yang terus bergejolak dari dollar AS selama Agustus lalu membuat para pelaku usaha di sektor Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) menjadi ketar-ketir.
Lembaga pemeringkat Fitch Ratings daalam kajian terbarunya menyatakan terdepresiasinya rupiah sebesar 10% dari Februari hingga Agustus 2013 terhadap dollar AS tak akan mempengaruhi profil peringkat kredit dari para operator.
Namun, tidak demikian dari sisi arus kas karena tingginya biaya dan belanja modal yang bergantung pada mata uang asing.
Memang, operator sudah melakukan lindung nilai alias hedging untuk utangnya. Tetapi untuk belanja barang biasanya menggunakan dollar AS.
Kecuali, operator atau pelaku usaha dalam perjanjiannya dengan supplier sepakat menggunakan rupiah atau pendapatan yang diterimanya dalam dollar AS.
Setidaknya itu bisa terlihat pada Telkomsel yang sudah memperbaharui kerjasama dengan vendor jaringan dimana harga BTS disepakti dalam rupiah.
Masalahnya, tidak semua operator seperti Telkomsel. Dollar AS menjadi nilai tukar yang digunakan umumnya karena peralatan seperti BTS semua adalah impor.
Sedangkan di bisnis Teknologi Informasi (TI), walau belanja modal didominasi menggunakan dollar AS, tetapi pendapatannya juga dalam dollar AS. Ketakutan para pebisnis TI dari melesatnya dollar AS menjadi Rp 11 ribu hanya pada aksi dari pembelinya yang lebih memilih mengurangi kuantitas karena ingin penghematan.
Sementara untuk penyedia menara bisa dikatakan minim resiko terhadap gejolak rupiah karena pendapatan diterima dalam dollar AS, sementara operasional menggunakan rupiah. Jika pun ada tantangan yakni pada utang yang banyak dalam dollar AS. Tetapi ini masih aman karena jatuh tempo masih lama.
Tantangan paling berat ada pada sektor distributor perangkat dimana produk banyak diimpor dan pembayaran menggunakan dollar AS. Harapan ada pada prinsipal untuk membantu dalam hedging kala pembelian produk.
Tetapi, seperti kata pepatah setiap ada kesulitan di situ ada kemudahan. Dalam kasus bergejolaknya rupiah, jika dilihat para pelaku usaha di sektor TIK sudah lebih berpengalaman karena Indonesia pernah mengalaminya pada 1998 dan 2008.
Bahkan, para pelaku usaha menyakini justru kondisi gejolak rupiah sektor TIK bisa mendapatkan peluang karena biasanya dalam kondisi krisis yang diutamakan adalah efisiensi. Berbicara efisiensi tentunya adalah implementasi TIK.
Peluang boleh saja direngkuh, tetapi pesan dari gejolak rupiah seharusnya menjadi pelajaran bagi semua pemangku kepentingan di sektor ini.
Pelajaran yang harus dipetik adalah ketergantungan kepada impor menjadikan sektor TIK di Indonesia tak pernah mandiri. Padahal, jika Indonesia mampu menjadi basis produksi, justru menjadi lebih makmur dengan gejolak rupiah karena alih-alih mengimpor, jutsru lebih banyak melakukan ekspor dan benar-benar menikmati disparitas nilai tukar mata uang.
@IndoTelko.com
Ikuti terus perkembangan berita ini dalam topik