telkomsel halo

Waspada pencatutan data pribadi di Pilkada

10:28:00 | 18 Aug 2024
Waspada pencatutan data pribadi di Pilkada
Proses Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta baru-baru ini menghadirkan kasus yang bikin banyak orang geleng-geleng kepala.

Pasangan bakal calon gubernur-wakil gubernur independen Pilkada Jakarta 2024, Dharma Pongrekun-Kun Wardana, menjadi perbincangan netizen karena diduga melakukan pelanggaran Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (PDP) atas pencatutan KTP dan Nomor Induk Kependudukan (NIK) warga untuk syarat pencalonan.

Pasangan ini awalnya tak lolos di verifikasi faktual pertama oleh KPU karena hanya memperoleh 183.001 data dukungan pada 25 Juli 2024.

Syarat KTP pendukung yang diatur Pasal 41 dalam Undang-Undang Pilkada, menyatakan bahwa syarat minimal dukungan calon perseorangan atau non-partai sebesar 6,5% sampai 10% yang dibuktikan dengan pengumpulan KTP pendukung.

Tidak sampai sebulan kemudian (3 Minggu), Pasangan ini menyerahkan data dukungan 826.766 KTP. Dimana hanya 494.467 yang memenuhi syarat.

Jika ditotal, data yang memenuhi syarat dari verifikasi Faktual 1 dan 2 adalah 677.468 data, sudah melebihi syarat dukungan minimal 618.968 KTP.

Hal yang mengejutkan adalah elektabilitas seorang Dharma Pongrekun sangat rendah, dibawah 5%. Bahkan jika dianggaplah 5%, ini artinya potensi KTP yang bisa didapat hanya 412.644 KTP.

Sontak, ketika Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta menyatakan akan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) penetapan pasangan calon perseorangan pada Pilkada Jakarta 2024, untuk Dharma Pongrekun dan Kun Wardana pada 19 Agustus mendatang banyak netizen bingung.

Pasalnya, komplain pencatutan NIK dan KTP mulai deras di media sosial.

Untuk diketahui, KTP yang dicatut sebagai pendukung pasangan independen dapat dilihat melalui situs https://infopemilu.kpu.go.id/Pemilihan/cek_pendukung.

Ketika KTP dan NIK dicatut sebagai pendukung, tulisan yang tertera di laman itu menyatakan: mendukung bakal pasangan calon kepala daerah perseorangan yang didukung.

Media sosial makin meriah karena mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, melalui akun X, menyebut KTP milik dua anak dan adiknya ikut dicatut mendukung paslon independen itu.

KPU DKI Jakarta sepertinya tak menghiraukan riuhnya media sosial karena menilai hal itu belum bisa mempengaruhi tahapan selanjutnya. Pasalnya, pada saat rapat pleno verifikasi faktual tidak ada yang keberatan terkait sahnya dukungan pasangan tersebut dan telah dibacakan berita acaranya.

Berulang
Pencatutan data pribadi untuk memenuhi dukungan merupakan masalah yang kerap berulang saban tahun penyelenggaraan pilkada. Bahkan, kasus serupa juga terjadi dalam proses verifikasi partai politik peserta Pemilu 2024 yang lalu.

Hal itu terjadi dalam rangka memenuhi persyaratan pencalonan yang berat, rumit, dan kompleks.

Pencatutan dimungkinkan terjadi karena maraknya kebocoran data akibat pengelolaan dan perlindungan data pribadi yang amat buruk.

Sudah menjadi rahasia umum metode pengumpulan data amburadul dimana terkadang data dikumpulkan oleh relawan atau tim sukses yang tidak profesional.

Mereka bisa saja minta fotokopi KTP dengan alasan yang tidak jelas, lalu menggunakan data itu tanpa izin. Orang sering memberikan data karena percaya saja, tanpa tahu tujuan penggunaan data.

Belum lagi banyak penawaran di dunia maya untuk penjualan NIK secara gelondongan yang tak bertanggungjawab sebagai ekses dari bocornya data pribadi di berbagai instansi pemerintah atau swasta.

Ditambah proses verifikasi dukungan yang tidak ketat oleh penyelenggara pemilu juga membuat data yang dicatut lolos tanpa terdeteksi. Verifikasi yang cuma sampling tidak akan cukup untuk mendeteksi semua kasus pencatutan.

Mengingat kasus ini berulang, tak salahnya memanfaatkan sistem verifikasi berbasis teknologi, seperti blockchain, bisa membuat proses lebih transparan dan aman. Ini bisa membantu mencegah data yang dicatut lolos tanpa terdeteksi.

Selain itu, menggunakan enkripsi untuk data pribadi yang disimpan dan dikirimkan bisa mencegah akses tidak sah. Enkripsi memastikan data hanya bisa dibaca oleh pihak yang berwenang.

Memanfaatkan kecerdasan buatan untuk memantau pengumpulan data dan verifikasi dukungan akan bisa mendeteksi pola mencurigakan atau tidak biasa, serta mempercepat identifikasi pencatutan.

Penyelenggara pemilu tak bisa hanya berpegang pada formalitas jika ingin Pilkada dianggap berintegritas. Verifikasi yang diperketat dengan memanfaatkan teknologi, apalagi untuk wilayah Jakarta, bukanlah hal yang sulit.

Melindungi data pribadi adalah tanggung jawab bersama. Jangan biarkan data kita jadi korban politik kotor!

GCG BUMN
@IndoTelko

Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
More Stories
Data Center Service Provider of the year
Financial Analysis
Mitratel tuntaskan akusisi UMT