JAKARTA (IndoTelko) – Fitch Ratings menurunkan prospek (outlook) peringkat utang PT Tiphone Mobile Indonesia Tbk (TELE) menjadi negatif, dari sebelumnya stabil.
Dalam rilisnya, Fitch menetapkan Peringkat Nasional Jangka Panjang dari Tiphone A-(idn). Pada saat yang bersamaan, Fitch juga memberikan peringkat A-(idn) bagi program obligasi berkelanjutan Rp 2 triliun dan Rp 500 miliar obligasi yang diterbitkan di bawah program tersebut.
Outlook Negatif mencerminkan cash flow from operations (CFO) yang negatif di beberapa tahun ke belakang, yang kemungkinan akan berlanjut dalam jangka waktu menengah. Fitch berpendapat bahwa hal ini akan tetap menjadi resiko utama dari perusahaan karena kemungkinan akan memperburuk kemampuan bayar perusahaan dan akses terhadap pendanaan.
Negatif CFO disebabkan oleh tingginya modal kerja dari bisnis perusahaan, yang memberikan dampak negatif terhadap arus kas yang stabil yang diperoleh dari bisnis distribusi voucher prabayar dari Telkomsel.
Peringkat nasional di kategori A menunjukkan ekspektasi akan resiko gagal bayar yang rendah relatif terhadap emiten atau surat utang lainnya di Indonesia. Namun adanya perubahan pada keadaan atau kondisi ekonomi bisa saja mempengaruhi kapasitas untuk membayar secara tepat waktu dibandingkan komitmen keuangan yang ditunjukkan oleh kategori peringkat yang lebih tinggi.
Faktor pendorong
Hal yang mendorong negatifnya CFO karena bisnis distribusi voucher dan handset dari Tiphone membutuhkan modal kerja yang tinggi untuk pembelian persediaan. Hal ini mendorong CFO menjadi negatif di tahun 2012 sampai 2015. CFO dari perusahaan menjadi positif di kuartal pertama 2016 tapi Fitch berpendapat bahwa belum ada perubahaan secara fundamental dari siklus modal kerja perusahaan.
Jika tren dari negatif CFO berlanjut, kemampuan pembayaran hutang perusahaan dan pada akhirnya kemampuan untuk pembiayaan kembali akan memburuk. Fitch telah merevisi sensitivitas peringkat untuk fokus kepada CFO dari pada working capital days karena tekanan yang berlanjut pada working capital, dan tingginya resiko handset yang menjadi obsolete, yang bisa mendistorsi working capital days.
Resiko dari negatif CFO yang berkelanjutan sedikit dikurangi oleh akses terhadap pendanaan yang baik dari perusahaan, yang terbukti dari ketersediaan modal kerja seasonal sebesar sekitar Rp 200 miliar dan pembiayaan ulang dari hutang jangka pendek dengan utang sindikasi di 2015.
Tiphone membutuhkan pinjaman eksternal untuk membiayai modal kerja perusahaan yang tinggi dan hal ini menyebabkan gross debt/EBITDA mencapai puncaknya di 4.3x di tahun 2015. Fitch memperkirakan leverage akan turun ke sekitar 3.0x-3.5x di 2016 dan 2017 karena naiknya EBITDA yang disebabkan oleh pertumbuhan bisnis voucher menyusul akusisi dari PT Simpatindo Multi Media (Simpatindo) di 2015.
Peringkat dari Tiphone diuntungkan oleh hubungan dengan Telkomsel selama lebih dari 10 tahun sebagai distributor terbesar dari voucher dan starter pack. Tiphone berkontribusi terhadap sekitar 30% dari penjualan voucher Telkomsel.
Fitch memperkirakan bahwa bisnis voucher akan berkontribusi lebih dari 75% bagi EBITDA Tiphone di 2016 – 2018 (2015: 68%) karena perusahaan akan mengalihkan fokusnya dari bisnis handset yang kompetitif. Penjualan handset lebih kompetitif dikarenakan banyaknya jumlah penjual dalam skala kecil, berkembangnya platform penjualan online, biaya sewa untuk toko dan berubahnya selera dari pembeli.
Selain itu, Fitch menilai bahwa bisnis voucher juga memiliki resiko inventory yang lebih kecil dibandingkan bisnis handset. Voucher lebih mudah dijual dan tidak rentan terhadap resiko menjadi obsolete dan permintaan juga cenderung naik karena pelanggan akan lebih banyak menggunakan servis data. (
Baca juga:
Target pendapatan Tiphone)
Tiphone sendiri pada tahun ini menargetkan mengejar pendapatan mencapai Rp 26,7 triliun atau naik 21% dari 2015 sebesar Rp 22,01 triliun.(wn)