telkomsel halo

Misteri revisi PP tentang telekomunikasi dan frekuensi

14:04:46 | 04 Jul 2016
Misteri revisi PP tentang telekomunikasi dan frekuensi
Teknisi di salah satu BTS. Perubahan PP No 53/2000 tentang Telekomunikasi memungkinkan adanya berbagi penggunaan frekuensi (dok)
Episode baru dari perang terbuka antara Telkomsel dan Indosat tengah dimulai.

Seperti  dugaan banyak kalangan, kampanye menyudutkan tarif Telkomsel di media sosial oleh Indosat hanyalah puncak gunung es dari perseteruan kedua operator ini.

Ibaratnya, itu adalah pertempuran kecil untuk memenangkan perperangan sesungguhnya yakni Revisi Peraturan Pemerintah (PP) tentang penyelenggaraan telekomunikasi (PP 52 tahun 2000) dan PP 53 tahun 2000 tentang  frekuensi dan orbit satelit.

President Director & CEO Indosat Alexander Rusli telah menyatakan revisi kedua PP ini dibutuhkan untuk mengubah wajah kompetisi telekomunikasi dimana nantinya bisa mengadopsi network sharing, mengubah kewajiban modern licensing, dan hadirnya pemain Mobile Virtual Network Operator (MVNO). (Baca juga: Indosat dan revisi aturan)

Tak tinggal diam, Direktur Utama Telkomsel Ririek Adriansyah buka suara bahwa selama ini tak pernah diajak berdiskusi untuk mengubah aturan main. "Ini ibarat lomba marathon, disepakati  finish di Bandung dari Jakarta. Telkomsel sudah sampai di Cimahi, eh mendadak dibilang finish diganti di Bekasi. Gimana itu tidak  bikin deg-degan. Saya saja jadi deg-degan dengan masa depan Telkomsel,” katanya beberapa waktu lalu. (Baca juga: Telkomsel dan revisi aturan)

Lantas bagaimana dengan Menkominfo Rudiantara? “Revisi PP itu isinya salah satunya tentang penyelenggaraan dan penggunaan frekuensi telekomunikasi. Ini untuk mencegah agar tidak terulang kasus yang menimpa Indosat Mega Media (IM2),” ungkap Rudiantara di Jakarta, Rabu (29/6). (Baca juga: Pemerintah dan revisi aturan)

Diharapkannya dengan direvisinya kedua PP tersebut tak ada persepsi dan interpretasi sendiri tentang penggunaan frekuensi. “Nah, kalau soal Telkomsel atau Telkom tak diajak diskusi, saya tak tahu. Terlalu teknis itu. Ini PP bos, melibatkan banyak kementrian. Kalau saya tak salah, bukan Kemenkominfo pegang lead,” jelasnya.

Misteri
Bagi sejumlah kalangan, pernyataan dari Rudiantara lumayan mengejutkan. Bayangkan, untuk aturan yang akan mengubah industri yang dikelolanya, ternyata bukan di-lead oleh Kementrian sektoral. Ini tentu menjadi tanda tanya besar.

Makin membuat kening berkerut ternyata Telkom Group (termasuk Telkomsel) memang tak diajak berdiskusi membahas perubahan aturan main. Badan usaha milik negara (BUMN) ini adalah penguasa setengah dari nilai bisnis industri telekomunikasi yang mencapai Rp 170 triliun pada 2015. Belanja modal dari Telkom Group hampir setengah dari nilai industri, kenapa tak diikutsertakan?

Apakah karena Telkom Group sudah memiliki pendirian terhadap rencana perubahan sehingga dianggap sudah tak bisa lagi diajak berdiskusi atau konseptor dari revisi aturan ini memiliki agenda sendiri sehingga merasa Telkom Group nantinya akan merecoki agenda besar yang disusun? (Baca juga: Minusnya network sharing)

Sebagian kalangan menyatakan jika revisi PP disahkan, akan terjadi potensi pengurangan setoran Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari penggunaan frekuensi karena network sharing. Ada juga yang mengingatkan revisi kedua aturan itu akan membawa industri telekomunikasi ke babak baru liberalisasi yang tak berdampak positif ke layanan.

Agar sangkarut tak makin ruwet dan gosip jalanan tak menjadi sumber informasi, ada baiknya Rudiantara membuka ke publik draft dari revisi kedua PP tersebut. (Baca juga: Revisi PP telekomunikasi dan frekuensi cacat moral)

GCG BUMN
Biarkan publik menilai revisi ini untuk siapa? Telkom Group, pesaing Telkom Group, atau pemerintah? Namun hal yang paling penting dari semua perubahan itu bagaimana dampaknya bagi masyarakat dan negara. Pertanyaan filosofis yang harus bisa dijawab tanpa retorika oleh penyusun revisi aturan ini.
 
@IndoTelko

Ikuti terus perkembangan berita ini dalam topik
Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
More Stories
Data Center Service Provider of the year