JAKARTA (IndoTelko) – Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara dinilai telah melanggar komitmen dengan Komisi I DPR pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) di 24 Agustus 2016 dengan telah lolosnya revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan dan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit.
“Dalam salah satu pemberitaan di media online, Rudiantara menyatakan revisi kedua PP itu tinggal ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ini mengabaikan komitmen dengan DPR RI,” tegas Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja (FSP) BUMN Strategis Wisnu Adhi Wuryanto dalam keterangannya, Selasa (20/9).
Wisnu mengingatkan, saat RDP tanggal 24 Agustus 2016 di Komisi I DPR dengan Menteri Kominfo Rudiantara ada empat kesimpulan, pada kesimpulan ke-4 terkait dengan rencana revisi PP 52 dan PP 53 dinyatakan bahwa; “Komisi I DPR RI akan mengadakan rapat dengan Menkominfo dan Kementerian terkait lainnya, perihal perkembangan Revisi PP Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan PP Nomor 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum frekwensi radio dan orbit satelit”.
“Apakah Komisi I DPR RI sudah mengadakan rapat dimaksud? Menurut pemantauan kami rapat tersebut belum dilaksanakan. Mestinya proses Revisi kedua PP tersebut berjalan sesuai kesepakatan RDP tanggal 24 Agustus 2016 yang lalu. Tetapi mengapa Menkominfo sudah lebih dahulu membuat pernyataan yang bertentangan?” tanya Wisnu.
Menurut Wisnu, konsep Network Sharing tidak dikenal dalam Undang Undang Nomor 36 Tahun 1999. Sehingga dalam Peraturan Pemerintah Nomor 52 tahun 2000 maupun Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2000 sebagai petunjuk pelaksanaan UU Nomor 36/1999 sama sekali tidak diatur mengenai network sharing.
“Menurut kami apabila network sharing wajib dijalankan oleh operator telekomunikasi, maka hal itu berpotensi melanggar Undang Undang di atasnya. Untuk itu kami dari FSP BUMN Strategis akan menyiapkan permohonan Judicial Review Peraturan Pemerintah itu ke Mahakamah Agung jika nanti jadi ditanda tangani presiden seperti yang diramalkan Menkominfo,” ancam Wisnu.
“Saran kami kepada Pemerintah agar menghormati proses di DPR sesuai rapat dengar pendapat tersebut, bahkan akan lebih baik bila revisi Peraturan Pemerintah tersebut menunggu perubahan Undang-Undang No 36 tentang Telekomunikasi terlebih dahulu agar tidak melanggar Undang-Undang yang masih berlaku,” pungkasnya.
Sebelumnya, beredar kabar telah selesainya draft revisi PP Nomor 52/2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan perubahan terhadap PP Nomor 53/2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit.
Kedua PP ini merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. (
Baca:
Network sharing melanggar UU)
Pokok perubahan terhadap kedua PP tersebut intinya mengatur masalah backbone network (jaringan) sharing dan akses (spektrum) jaringan antar operator. Revisi kedua PP ini kabarnya telah berada di Sekretariat Negara untuk dilakukan pemeriksaan terakhir sebelum diajukan ke Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk ditandatangani.
Dalam bocoran yang didapat media, isi draft memang menyatakan perlunya sharing atas infrastuktur Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang mencakup backbone dan jaringan. (
Baca:
Menkominfo Pro Asing)
Sharing atas backbone bersifat mandatory (wajib) sedangkan sharing atas jaringan telekomunikasi bersifat business to business (B2B) dalam keadaan tertentu yang didasarkan atas penciptaan persaingan usaha yang sehat, pencapaian efisiensi, dan perwujudan keberlanjutan penyelenggaraan jaringan. (
Baca:
Numpang Jaringan)
Masih dalam dokumen yang beredar, dinyatakan pemerintah menghitung nilai investasi dan nilai kompensasi atas pelaksanaan sharing per wilayah dan dalam pelaksanaan perhitungan dapat menugaskan auditor independen. Pemerintah menetapkan biaya atas penggunaan backbone yang dibangun oleh pemerintah dan dihitung sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).(id)