Jakarta (IndoTelko) - Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) membantah tak melibatkan sejumlah pemain lokal dalam revisi Peraturan Pemerintah No 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE).
"Kami undang semua, ada asosiasi cloud, ada asosiasi data center. Kita tampung masukkannya untuk revisi ini," ungkap Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo Semuel Abrijani Pangerapan di Kantor Kominfo, Jakarta, Rabu (31/10).
Sebelumnya, Kaukus asosiasi pelaku usaha lokal yang terdiri dari Indonesia Data Center Provider Organizaton (IDPRO), Asosiasi Cloud Computing Indonesia (ACCI), Asosiasi Big Data & AI (ABDI), dan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mengaku tak dilibatkan dalam penyusunan aturan yang berdampak langsung dengan usahanya itu. (
Baca:
Kisruh Revisi PP PSTE)
"Kami pastikan ini (revisi) melibatkan pemangku kepentingan untuk memberikan kepastian iklim berusaha dengan tetap menjaga kedaulatan negara. Ini kan prosesnya sudah jalan dua tahun. Ramai sekarang, karena mau disahkan saja," kilahnya. (
Baca: Revisi PP PSTE)
Pria yang akrab disapa Semmy ini mengungkapkan proses revisi dimulai sejak 25 November 2016 setelah disahkannya UU ITE Perubahan atau UU 19/2016.
Kemudian sekitar Mei 2018 pada tahapan pembahasan harmonisasi di Kementerian Kumham ada beberapa masukan dari kementerian/lembaga dan masyakarat.
Selanjutnya, pada tanggal 22 Oktober 2018, Menkumham menyampaikan draft RPP PSTE yang telah selesai diharmonisasi. "Pada 26 Oktober atas dasar Surat Menkumham tersebut, Menkominfo menyampaikan RPP Perubahan PSTE kepada Presiden untuk persetujuan," ungkapnya
Menurut Semmy, PP PSTE harus direvisi untuk meningkatkan arus investasi ke dalam negeri dan meningkatkan iklim kemudahan berusaha.
"Kami menilai kewajiban penempatan fisik data center dan data recovery center tidak sesuai dengan tujuannya, karena kepentingan utama pemerintah adalah terhadap data bukan fisiknya. Kemungkinan akan banyak Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) yang tidak comply dengan kewajiban ini karena pertimbangan bisnis ataupun keterbatasan pemahaman," jelasnya.
Jika hal tersebut tidak diantisipasi, akan dapat memengaruhi iklim kepastian berusaha. "Tidak ada klasifikasi data apa saja yang wajib ditempatkan sehingga tidak ada parameter bagi PSE selaku pelaku usaha atau ketidakpastian berusaha. Dengan tidak adanya klasifikasi tersebut, Kemungkinan banyak PSE yang akan ditutup atau diblok berdasakan pelanggaran atas kewajiban tersebut," tambahnya.
Pemerintah mengambil langkah terobosan dengan mengatur Klasifikasi Data Elektronik (KDE). Pengaturan itu dibutuhkan untuk memperjelas subjek hukum tata kelola data elektronik, yang meliputi pemilik, pengendali, dan pemroses data elektronik.
"Sebelumnya dalam PP Nomor 82/2012 terdapat kewajiban Menempatkan Data Center (DC) dan Disaster Recovery Center (DRC) di wilayah Indonesia, namun tidak ada aturan dan sanksi jika tidak menempatkan DC dan DRC di Indonesia," paparnya.
Melalui revisi PP PSTE, pemerintah memastikan netralitas teknologi, perlindungan data, inklusivitas ekonomi digital, penegakan hukum, dan kedaulatan negara tetap akan terjaga.
"Pengaturan klasifikasi data elektronik ditujukan untuk mendukung ekonomi digital, membangun ekosistem investasi. Secara teknis akan menjadikan koneksi hub untuk ekspor dan impor data dan menerapkan cloud first policy," jelas Semuel.
Perubahan yang diusulkan Pengaturan Lokalisasi Data Berdasarkan Pendekatan Klasifikasi Data, yaitu Data Elektronik Strategis, Tinggi dan Rendah.
Data Elektronik Strategis wajib di wilayah Indonesia, menggunakan jaringan sistem elektronik Indonesia, membuat rekam cadang elektronik dan terhubung ke pusat data terpadu.
Data Elektronik Tinggi dan Rendah dapat di luar di wilayah Indonesia (jika memenuhi persyaratan) dan wajib memastikan efektivitas pelaksanaan yurisdiksi hukum Indonesia.(id)