JAKARTA (IndoTelko) - Sejumlah asosiasi di bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang selama ini dikenal bersuara keras menentang revisi Peraturan Pemerintah No 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE) menduga ada agenda dari pihak asing yang menumpang dalam draft beleid tersebut khususnya soal relaksasi lokalisasi data.
Asoisasi yang terdiri atas Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL), Indonesia Data Center Provider Organizaton (IDPRO), Asosiasi Cloud Computing Indonesia (ACCI), Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Federasi Teknologi Informasi Indonesia (FTII), dan Asosiasi Peranti Lunak Telematika Indonesia (Aspiluki) dalam pernyataan bersama yang dikeluarkan (26/11), menduga lobi-lobi pihak asing sangat kuat ke Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) yang menjadi inisiator dari revisi PP PSTE. (
Baca: Penolakan Revisi PP PSTE)
Juru Bicara untuk pernyataan bersama Irwin Day menduga adanya tekanan dan agenda asing yang ikut menumpang dalam draft revisi PP PSTE sehingga Menkominfo Rudiantara dan Dirjen Aptika Semuel A Pangerapan seperti maju tak gentar melawan "teman-temannya" yang di lapangan.
"Kami ini kan kenal Pak Menteri dan Dirjen Aptika. Semmy (Dirjen Aptika/Semuel A Pangerapan) dulu yang paling getol minta data center di Indonesia. Kenapa dia berubah setelah menjabat. Tak mungkin serendah itu dia mengkhianati perjuangan. Saya duga "tekanan" ke mereka berdua ini kuat sekali sampai lupa dengan NKRI," duga Irwin dari FTII.
Soal "tekanan" asing, Irwin merujuk kepada pernyataan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita di sejumlah media menyebut data center menjadi salah satu permintaan Amerika Serikat agar RI kembali fasilitas Generalized System of Preferences (GSP). (
Baca:
Ada tekanan asing di revisi PP PSTE)
"Setelah investigasi lapangan, tak hanya Paman Sam punya kepentingan soal draft revisi PP PSTE, Australia juga. Kita dapat info ada konsultan dari Australia suka sowan ke Kominfo dan beberapa kali diskusi intens soal draft revisi PP PSTE. Ini menyakitkan sekali karena pelaku usaha lokal malah tak diajak diskusi bahas itu draft," sungutnya.
Executive Director Mastel Arki Rifazka mengingatkan lokalisasi pusat data bukan hanya soal kemudahan akses dalam proses hukum tetapi bagian dari kedaulatan negara atas warganya. Warga negara membayar pajak misalnya bukan hanya untuk menjamin keamanan fisik tetapi juga non-fisik termasuk di antaranya data digital mengenai warga negara.
"Jika terus dipaksakan relaksasi lokalisasi data, maka kekayaan kita akan mengalir ke luar negeri. Data itu adalah the next oil, kalau dibiarkan ditempatkan di luar artinya kita membiarkan harta itu ke luar Indonesia”, pungkasnya.
Seperti diketahui, Kominfo telah menuntaskan pekerjaan untuk menyiapkan draft revisi PP PSTE. Kominfo dalam draft revisi PP PSTE mengubah kebijakan tersebut dengan mengambil langkah terobosan mengatur Klasifikasi Data Elektronik (KDE).
Pengaturan itu dibutuhkan untuk memperjelas subjek hukum tata kelola data elektronik, yang meliputi pemilik, pengendali, dan pemroses data elektronik.
Perubahan yang diusulkan Pengaturan Lokalisasi Data Berdasarkan Pendekatan Klasifikasi Data, yaitu Data Elektronik Strategis, Tinggi dan Rendah.
Sejumlah asosiasi menolak keras ide relaksasi ini dan mengirimkan surat ke Menteri Sekretaris Negara RI (Mensesneg) Pratikno pada 30 Oktober 2018 untuk meminta penundaan pengesahan terhadap Rancangan Peraturan Pemerintah PSTE itu.
Pihak yang menolak menilai rencana pemerintah melakukan revisi PP 82/2012 merupakan suatu kemunduran karena akan menghambat perkembangan Ekosistem Industri Digital di Indonesia.(id)