JAKARTA (IndoTelko) - Kaukus Masyarakat Informasi Indonesia meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memeriksa Menkominfo Rudiantara terkait tak jelasnya penyelesaian kasus tunggakan Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi 2,3 GHz oleh tiga operator Broadband Wireless Access (BWA).
Tiga operator itu adalah PT First Media Tbk (KBLV), PT Internux, dan PT Jasnita Telekomindo (Jasnita).
Asal tahu saja, KBLV dan Internux adalah pengusung merek BOLT dalam menyelenggarakan layanan 4G LTE berbasis frekuensi 2,3 Ghz.
KBLV beroperasi di Sumatera Bagian Utara, Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok, dan Bekasi (Jabodetabek), dan Banten tengah diminta melunasi tunggakan frekuensi Rp364,84 miliar oleh pemerintah.
Sedangkan PT Internux yang beroperasi di Jabodetabek dan dan Banten memiliki nilai tunggakan frekuensi Rp343,57 miliar.
Jasnita mendapat wilayah operasi di Sulawesi Bagian Utara menunggak BHP frekuensi sebesar Rp2,197 miliar. Jasnita sejak 2014-2017 hanya menjalankan kewajiban pembangunan sebesar 7,69%.
"Kami lihat kasus ini sudah terlalu lama berlarut tanpa ada kepastian hukum. Ini merugikan semua pihak, mulai pelaku usahanya, pengguna, hingga negara. Kita sarankan KPK turun supervisi kasus ini dan mulai periksa Menkominfo Rudiantara," tegas Juru bicara Kaukus Masyarakat Informasi Indonesia yang juga Direktur Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi Indonesia (LPPMII) Kamilov Sagala dalam diskusi dengan IndoTelko (29/11).
Menurutnya, sejak jatuh tempo tunggakan BHP dan seterusnya mulai detik itu sudah terjadi kerugian negara, walaupun ada upaya dari operator mengajukan proposal cicilan.
"Dari kacamata hukum saya melihat Menkominfo Rudiantara wajib diperiksa KPK karena jelas-jelas mengabaikan dan tidak menegakkan aturan yang bisa mengarah menguntungkan/memperkaya korporasi atau orang lain dan tentu merugikan negara," katanya.
Kamilov menambahkan, sejak habis batas waktu 17 NOvember 2018 dan drama yang disajikan Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pada 19 November 2018 dimana terkesan mau tegas akan mencabut tetapi malah terlihat tak memberikan solusi yang jelas.
(Baca: BHP Frekuensi)
"Hal yang menyakitkan itu tak ada transparansi informasi dari Kominfo selama proses sejak proposal diajukan operator. Padahal frekuensi itu milik negara, publik wajib tahu. Coba Anda cek situs resmi Kominfo, ada tidak mereka membuat pernyataan resmi update kasus ini," gusarnya.
Direktur Indonesia ICT Institute Heru Sutadi yang juga tergabung dalam kaukus ini mengingatkan Menkominfo Rudiantara harus tegas menjalankan aturan.
"Sebab membahayakan Kominfo sendiri kalau dikasih keringanan cicilan sekian tahun. Kalau nanti pada waktunya tidak lunas gimana? Kalau utang ke bank ada agunannya, lah ini apa?" tanyanya.
Diingatkannya, potensi Menkominfo Rudiantara tersandung kasus korupsi tinggi sekali jika tidak menegakkan aturan.
"Jangan menggali lubang sendiri akan potensi tindak pidana korupsi. Karena korupsi kan ada unsur kerugian negara, pelanggaran hukum, menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Apalagi tahun depan diprediksi ada suksesi kepemimpinan minimal di Kominfo. Belum tentu Pak Jokowi akan lanjut dan Menkominfo juga akan dua periode. Artinya kan jangan juga memberi beban pada pemerintahan berikutnya, menteri berikutnya," tukasnya.
Sebelumnya, Kominfo seperti memberikan antiklimaks ke publik dengan menunda keputusan pencabutan izin frekuensi milik Internux dan First Media.
(Baca: Kasus Internux)
Tadinya, kedua perusahaan tersebut terancam kehilangan izin frekuensi lantaran menunggak utang.
Namun, dengan dicabutnya gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) oleh First Media dan adanya proposal baru untuk pembayaran tunggakan membuat Menkominfo Rudiantara galau mengambil keputusan dan memilih menunggu sikap dari Kementerian Keuangan.
Kominfo kabarnya tengah membahas proposal yang masuk dari First Media dan Internux. Skema pembayaran yang diajukan kedua perusahaan berjanji akan menyelesaikan utang mereka secara bertahap dengan skema 5 kali pembayaran dimulai dari Desember 2018 hingga paling lambat September 2020.
Dalam skema itu dijanjikan pembayaran pertama di Desember 2018. Kemudian tahun 2019 ada dua kali pembayaran, April dan September. Lalu 2020 sebanyak dua kali pembayaran.
Selama belum ada keputusan terkait proposal ini Kominfo mengeluarkan larangan untuk menjual kartu perdana, pulsa, dan paket internet Bolt.
Hal yang membingungkan publik dalam kasus tunggakan frekuensi tiga operator ini adalah terkait sikap Kominfo terhadap Jasnita. Kominfo menyatakan Jasnita tak menawarkan skema pembayaran, namun izin frekuensi tak dicabut juga.(dn)