Ilustrasi (DOK)
PT XL Axiata Tbk (XL) akhirnya melakukan penandatanganan Perjanjian Jual Beli Bersyarat (Conditional Sales Purchase Agreement/CSPA) dengan Saudi Telecom Company (STC) dan Teleglobal Investment B.V. (Teleglobal) untuk membeli PT Axis Telekom Indonesia (Axis) pada Kamis (26/9) lalu.
STC adalah pemegang saham mayoritas di Axis dengan porsi 80,1%. Sementara Teleglobal Investment B.V. (Teleglobal) adalah anak perusahaan STC. Rencananya Teleglobal akan menjual 95 % saham di Axis kepada XL. Jumlah itu setara dengan 100% kepemilikan STC di Axis.
Ditandatanganinya CSPA menunjukkan XL memang serius ingin mencaplok Axis demi memperkuat pangsa pasarnya di Indonesia.
Diperkirakan jika akuisisi ini mulus maka pangsa pasar XL secara pendapatan akan melesat di industri seluler nasional.
Lembaga pemeringkat Fitch Ratings memperkirakan pangsa pasar pendapatan XL akan menjadi 22% dari 19%.Hal ini berarti XL menyalip Indosat yang selama ini menguasai pangsa pasar secara pendapatan sebesar 18%.
XL juga akan memiliki keuntungan di sisi frekuensi dengan ada tambahan sekitar 15 MHz di 1.800 MHz dan 10 MHz di 2,1 GHz. Pasca akuisisi Axis, kepemilikan frekuensi XL menjadi kian dekat dengan Indosat yakni 55 MHz, dan menempel ketat Telkom (60 MHz).
Belum lagi tambahan 14 juta pelanggan Axis yang bisa mendatangkan pendapatan sekitar US$ 260 juta dan penghematan di sisi belanja modal dan operasional sekitar US$ 800 juta.
Kewajaran Harga
Hal yang menggelitik dari persyaratan CSPA adalah masalah perjanjian bisa batal jika terjadi perubahan kepemilikan frekuensi.
Komposisi kepemilikan frekuensi XL sendiri saat ini adalah 15 MHz atau setara tiga blok (8, 9, dan 10) di spektrum 2,1 GHz untuk layanan 3G. Sedangkan untuk 2G, XL juga punya di 1.800 Mhz dan 900 MHz, masing-masing 7,5 MHz.
Sementara Axis menduduki dua blok 3G di 2,1 GHz, yakni blok 11 dan 12. Untuk 1.800 MHz, Axis memiliki lebar pita 15 MHz. Sebelumnya, sinyal yang diberikan XL-Axis adalah dilepasnya satu blok 3G atau sebesar 5 MHz ke pemerintah jika entitas baru terbentuk.
Axis sendiri ditaksir memiliki nilai sebesar US$ 865 juta dollar AS dengan catatan buku Axis bersih dari utang dan posisi kas nol (cash free and debt free) dalam CSPA ini.
Hal yang menjadi pertanyaan, apakah nilai tersebut wajar jika merujuk kepada dampak akuisisi bagi XL seperti dipaparkan di atas?
Apalagi, dalam CSPA sangat jelas disebutkan masalah kepemilikan frekuensi akan menjadi kunci penting transaksi berlanjut atau tidak.
Lantas bagaimana dengan posisi pemerintah sebagai pemilik sejatinya frekuensi seperti yang diamanatkan Undang-undang? Relakah pemerintah melihat sumber daya alam terbatas “diperdagangkan” sedemikian rupa?
Sinyal yang dilepas pemerintah adalah akan adanya rebalancing atau tata ulang kepemilikan bagi pemain di 1.800 MHz dan 2,1 GHz.
Hal yang wajar tentunya karena jika dibiarkan akuisisi tanpa ada pengembalian frekuensi maka terjadi kehilangan potensi pendapatan.
Sekadar catatan, satu blok 3G di 2,1 GHz saja kala dilelang tahun ini dinilai sekitar Rp 544 miliar. Angka ini terdiri dari dua kali upfront fee ditambah 20% dari harga lelang (Biaya Hak Penggunaan Frekuensi/ BHP tahun pertama).
Nah, jika ternyata dari kalkulasi pemerintah entitas baru XL-Axis harus mengembalikan masing-masing 5 MHz di 2,1 GHz dan 1.800 Mhz, tentunya negara bisa mendapatkan tambahan pendapatan ketimbang sekadar menjadi penonton yang manis dari aksi korporasi ini.
Aksi rebalancing ini sepertinya wajar dilakukan dan tak perlu menimbulkan kecurigaan karena akan menjadi pelajaran bagi operator yang sebenarnya sudah menyerah berkompetisi yakni, frekuensi adalah milik negara dan tidak bisa seenaknya dianggap sebagai aset perusahaan untuk diperdagangkan.
Namun, sebelum menuju ke arah tersebut (rebalancing), pemerintah harus bisa menyakinkan publik dengan kalkulasi yang dibuatnya bahwa alokasi yang diberikan ke semua pemangku kepentingan sudah sesuai dengan rencana bisnis agar tidak menjadi masalah di masa depan dimana berujung terjadinya penumpukan kepemilikan frekuensi di satu operator.
@IndoTelko