telkomsel halo

4G Tanpa Gemerlap

12:25:22 | 17 Nov 2013
4G Tanpa Gemerlap
Ilustrasi (Dok)
Pemilik lisensi Broadband Wireless Access (BWA) untuk zona Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), Internux, akhirnya mengkomersialkan layanan 4G berbasis teknologi Time Division Duplex – Long Term Evolution (TDD-LTE) dengan merek Bolt.

Sebuah kejutan mengingat selama ini Internux nyaris tak terdengar kiprahnya sejak memenangkan lisensi BWA di frekuensi 2,3 GHz pada 2009 lalu.

Penyedia Jasa Internet (PJI) dari Makassar ini justru banyak bergelut dengan hukum usai menjadi pemenang tender dengan pemerintah terkait masalah pembayaran Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi.

Para pemain BWA yang selama ini aktif adalah PT First Media Tbk (KBLV) dengan merek Sitra Wimax dan PT Berca Hardayaperkasa  dengan Wigo. Keduanya menggelar teknologi Worldwide Interoperability for Microwave Access (WiMax).

First Media pada 7 Juni lalu menghentikan layanan Sitra Wimax karena ingin mengadopsi teknologi TDD LTE. Perseroan pun menggelar Strategic Alliance Agreement (SAA) yang ditandatangani pada 23 Oktober 2013 dengan Internux guna mengembangkan teknologi TDD LTE.

Babak Baru
Keberanian dari Internux untuk menggelar 4G adalah babak baru dari layanan internet di Indonesia. Janji kecepatan downstream hingga 72 Mbps tentu merupakan ide segar di tengah lambatnya pertumbuhan kecepatan Internet negara kita dibanding negara-negara tetangga.

Apalagi secara harga, layanan yang diberikan bersaing dengan mobile broadband berbasis 3G yang sudah hadir terlebih dulu. Pertanyaannya, akankah 4G berbasis TDD LTE ini berhasil di pasar?

Jika kita melihat ke belakang, kala WiMax hadir pertama kali banyak pihak berharap teknologi ini bisa menjadi penawar rindu untuk kenyamanan mengakses internet di tengah minusnya kualitas layanan 3G.

Namun, kenyataan berbicara lain. WiMax layu sebelum berkembang. Pelajaran yang bisa dipetik dari gagalnya Wimax di Indonesia adalah tidak matangnya ekosistem, regulasi yang mengingkari khittah teknologi, dan kekuatan modal dari operator yang minim.

Dihantui
Jika dilihat, faktor-faktor yang memicu kegagalan WiMax itu masih menghantui dari TDD LTE. Tidak matangnya ekosistem bisa dilihat dari catatan Global mobile Suppliers Association (GSA) dimana ada 194 operator berbasis Frequency Division Long Term Evolution (FDD LTE) dengan 120 juta pengguna di dunia. Sedangkan TDD LTE hanya digunakan 18 operator dengan empat juta pengguna.

Soal regulasi, sepertinya pemerintah masih mengikat kemampuan teknologi TDD LTE dimana fitur layanan dibatasi, begitu juga zona areanya.

Terakhir, masalah kekuatan modal. Para operator di frekuensi 2,3 GHz bisa dikatakan sudah banyak tersedot dananya untuk mendapatkan lisensi. Belum lagi “kekalahan” di WiMax yang harus dibayar mahal.

Internux mungkin memiliki keunggulan karena tak harus mencicipi fase menyakitkan menggunakan WiMax. Namun, di mobile broadband falsafah capacity dan coverage sebagai senjata utama untuk bersaing itu mutlak.

Melihat 1.500 BTS yang dimiliki dengan lokasi yang terbatas, rasanya  Bolt belum mampu menjawab mobilitas dari pengguna.Jika manajemen dari Internux pintar membaca kelemahan dan keunggulan yang dimilikinya, dikombinasikan dengan kebutuhan masyarakat, bisa saja layanan 4G miliknya dilirik masyarakat.

Salah satunya adalah menyadari tak ada gunanya berhadap-hadapan dengan pemain seluler yang tak lama lagi akan menggelar  FDD LTE karena dari sisi basis massa, ekosistem, dan modal sudah kalah jauh.

Bermain di ceruk yang sempit tetapi menjanjikan margin stabil seperti residensial dan perkantoran rasanya lebih menguntungkan dan keputusan yang bijak dijalankan. Bukankah kecil itu juga indah?

GCG BUMN
@IndoTelko 

Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
More Stories
Data Center Service Provider of the year