telkomsel halo

Mahalnya Harga Frekuensi

15:18:32 | 08 Dec 2013
Mahalnya Harga Frekuensi
Ilustrasi (DOK)
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Tifatul Sembiring akhirnya mengeluarkan rekomendasi teknis terhadap aksi merger-akuisisi yang dilakukan XL dan Axis dalam surat Menteri Kominfo No. 1147/M.KOMINFO/UM.01.01/11/2013 tertanggal 28 November 2013 yang juga ditembuskan kepada Kepala BKPM.

Dalam surat tersebut, dinyatakan aksi konsolidasi yang dirancang keduanya direstui dengan syarat dikuranginya frekuensi sebesar 10 MHz dari masing-masing entitas yakni satu blok di 2,1 GHz.

Frekuensi yang ditarik adalah blok 8 dimana ditempati XL dan blok 12 yang ditempati Axis. Alhasil komposisi frekuensi yang dimiliki keduanya menjadi 15 MHz di 3G, di 900 MHz selebar 7,5 MHz, dan di 1.800 MHz selebar 22,5 MHz.

XL sebagai pihak yang meminang Axis ke Saudi Telecom Company (STC) mengaku tidak keberatan dengan rekomendasi teknis yang dikeluarkan pemerintah dan tengah bersiap mencari pendanaan untuk menebus harga saham Axis yang senilai US$ 865 juta.

Jika ditelisik, XL wajar tidak keberatan dengan rekomendasi teknis ini karena alokasi di 1.800 MHz yang akan digunakan untuk Long Term Evolution (LTE) tidak berkurang yakni 7,5  MHz milik XL dan 15 MHz milik Axis. Alhasil, kepemilikan frekuensi keduanya setara dengan Telkomsel.

Diyakini XL-Axis akan lebih cepat menggelar LTE jika regulasi dikeluarkan pemerintah mengingat BTS yang dimiliki keduanya sudah LTE ready. Inilah yang membuat banyak para analis beranggapan penghematan yang bisa didapat XL dalam lima tahun mendatang untuk menggelar LTE bisa mencapai sekitar US$ 400 juta.

Bagaimana dengan frekuensi 3G? Sepertinya ini diluar dugaan XL. Pasalnya dalam kajian XL, frekuensi yang siap diambil adalah blok 12 milik Axis karena memang "kotor" mengingat terlalu dekat dengan sinyal milik Smart Telecom.

Hambatan bagi XL adalah diambilnya blok 8 yang baru ditempati. Bisa dibayangkan biaya yang dikeluarkan jika  pasca lelang 3G di kuartal pertama 2014 ternyata terjadi tata ulang, dan XL-Axis harus bergeser.

Guna mengantisipasi skenario terburuk ini, XL kabarnya tengah mengaji untuk ikut tender 3G tersebut. Bayangkan, jika ini benar terjadi, XL harus merogoh uang sekitar Rp 500-an miliar untuk menebus satu blok yang sebelumnya sudah mereka genggam.

Tentunya ini menjadikan efisiensi untuk jangka menengah di layanan 3G selama tiga sampai lima tahun sebesar US$ 200 juta yang dikalkulasi para analis menjadi berkurang.

Sudah selesaikah penderitaan XL demi tambahan 15 MHz di 1.800 MHz? Jawabnya belum. XL harus menanggung kerugian Axis hingga dua atau tiga tahun atau sekitar Rp 7,4 triliun. Kondisi ini tentunya menjadikan bottom line XL akan terus tertekan dalam beberapa tahun mendatang.

Memang, di top line bakal datang sumber pendapatan baru sekitar US$ 260 juta dari 17 juta pelanggan Axis dan penghematan di sisi belanja modal dan operasional sekitar US$ 800 juta, tetapi jika melihat mahalnya harga yang ditebus XL demi bisa menggelar LTE, rasanya buah dari pengorbanan ini baru bisa dirasakan XL di lima tahun mendatang.

Jika membaca paparan di atas, sudah saatnya pemerintah mengambil hikmah dari konsolidasi XL-Axis agar kompetisi lebih sehat bisa terwujud.

Pemerintah harus berani mengeluarkan aturan terkait pembatasan, pembagian, dan berbagi penggunaan frekuensi agar operator tidak berkorban terlalu besar demi mendapatkan tambahan sumber daya alam terbatas.

Langkah lain adalah dikeluarkan aturan yang jelas tentang merger dan akuisisi dengan mengacu pada UU tentang anti monopoli dimana masalah pengalihan frekuensi diatur secara tegas.

Jika salah satu dari aturan itu tidak ada, rasanya dalam jangka pendek ini tak akan ada operator yang mau mengikuti aksi nekad XL karena resiko dan beban yang ditanggung terlalu besar.

GCG BUMN
@IndoTelko

Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
More Stories
Data Center Service Provider of the year