Pada akhir pekan ini industri sepak bola Inggris dihebohkan dengan kepindahan gelandang serba bisa milik Chelsea, Juan Mata, ke pesaingnya Manchester United.
Nilai transfernya dikabarkan lumayan fenomenal yakni sekitar Rp 745 miliar, diluar gaji Rp 3 miliar per minggunya bagi pemain berusia 25 tahun itu.
Di industri sepak bola masalah perpindahan pemain merupakan sesuatu yang lazim. Pemicunya, bisa saja karena si pemain kurang diberikan kesempatan, mencari tantangan baru, atau ingin mengejar gaji lebih tinggi.
Hal yang sama juga terjadi di industri seluler nasional. Banyak profesional yang selama ini identik dengan satu operator atau bisa dikatakan menjadi ikon dari perusahaan rela meninggalkan tempatnya mengabdi karena tergiur dengan tantangan baru atau ingin mencari sesuatu yang lebih baik.
Entah kebetulan atau tidak, perpindahan profesional di kalangan industri seluler nasional selalu berdekatan dengan jendela transfer pemain sepak bola di Eropa.
Lihat saja
berita hengkangnya Joy Wahjudi dari XL yang kabarnya telah bergabung dengan induk usaha Indosat, Ooredoo pada awal pekan ini. Joy bisa diibaratkan seperti Juan mata berkat pengalamannya selama 17 tahun mengelola saluran distribusi dan pemasaran XL.
Transfer profesional yang paling fenomenal tentu adalah Erik Meijer. Magnet seorang Erik terbukti kala 2007 memutuskan keluar dari Telkomsel dan pindah ke Bakrie Telecom. Kala itu pemberitaan perpindahannya sudah menyerupai bintang sepak bola yang keluar dari klub besar.
Hal serupa juga terjadi kala Erik pindah ke Indosat dari Bakrie Telecom dan terakhir berlabuh di Garuda Indonesia. Media massa memberikan slot spesial bagi seorang Erik yang kadung dianggap ikon dunia seluler nasional.
Profesional lokal yang bisa menyamai fenomena seorang Erik dalam masalah personal branding adalah Hasnul Suhaimi yang sempat ke Axiata sebelum berlabuh di XL pada 2006. Hasnul pun telah memberikan bukti dengan mengangkat kinerja dari XL sejak dipegangnya dan tengah meniti sejarah baru yakni memulai konsolidasi di industri seluler nasional dengan mengakuisisi Axis.
Pelajaran yang dapat dipetik dari perpindahan para profesional ini adalah ternyata industri seluler nasional miskin Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas sehingga aksi saling bajak terutama untuk posisi kunci menjadi jalan pintas yang diambil pemegang saham operator.
Hal yang lebih mengagetkan adalah belakangan aksi jalan pintas banyak dilakukan oleh Indosat yang
selama ini dikenal sebagai “Universitas” Telco di Indonesia. Pasalnya, operator ini dulu dikenal menghasilkan orang-orang tangguh berkat sistem perekrutan yang ketat dan berkualitas.
Bisa jadi jalan pintas menjadi pilihan karena tekanan untuk menghasilkan keuntungan tak bisa dihindarkan. Tetapi berinvestasi di SDM berkualitas bukankah suatu cara untuk memajukan industri dan bangsa juga?
@IndoTelko