Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Tifatul Sembiring menjelang berakhir masa jabatannya berhasil melakukan penataan frekuensi yang digunakan untuk mobile broadband.
Aksi itu dimulai dengan membersihkan frekuensi 1.900 Mhz dari pemain Code Division Multiple Access (CDMA) dimana Smart Telecom (Afiliasi Smartfren) ke 2,3 GHz.
Berikutnya disusul dengan dibukanya teknologi netral di 800 MHz yang selama ini identik dengan teknologi CDMA. Aksi di dua spektrum tersebut seperti membuka kotak pandora 4G dan konsolidasi di Indonesia.
Smart Telecom yang dipindah ke 2,3 GHz dengan frekuensi 30 MHz akan menggelar TDD LTE, sedangkan di 800 MHz, afiliasnya, Mobile-8 akan melakukan penggabungan usaha dengan PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL) agar bisa menggelar Frequency Division Duplexing Long Term Evolution (FDD-LTE) berkat frekuensi 10 MHz yang dimilikinya.
Sementara Telkom grup dan Indosat memutuskan berhenti bermain di CDMA dan memanfaatkan frekuens di 800 MHz sebagai tambahan memperkuat layanan 3G di 900 MHz dengan teknologi e-GSM.
Telkom grup di 900 MHz diperkirakan akan memiliki frekuensi 15 Mhz di 900 MHz, karena guard band akan dialokasikan juga ke Telkomsel. Sementara Indosat walau memiliki frekuensi selebar 15 MHz juga nantinya di 900 Mhz untuk 3G, berada dalam posisi kurang menyenangkan mengingat guard band antara band A dan B di 800 MHz telah diambil Telkomsel.
Alhasil, jika FDD LTE dari penggabungan usaha Mobile-8 dan Bakrie Telecom berjalan, lagu lama tentang interferensi layaknya di frekuensi 2,1 GHz dan 1.900 MHz akan kembali terulang.
Bandul Liar
Sayangnya, Tifatul tak bisa menuntaskan penataan di 1.800 Mhz yang selama ini dianggap salah satu frekuensi favorit untuk FDD LTE mengingat ekosistem perangkatnya sudah lumayan matang di dunia.
Alasan yang diapungkan adalah terdapat sekitar 180 juta nomor 2G masih manteng di frekuensi 1.800 MHz, dimana sekitar 90 juta nomor milik Telkomsel. Alasan ini patut dipertanyakan mengingat selama ini Telkomsel tekesan paling siap menggelar LTE di 1.800 MHz.
Ibarat bandul yang terlepas dari irama pantulannya, melesetnya jadwal penataan frekuensi 1.800 MHz tentu membuat rugi pemain seperti XL Axiata dan Tri karena tak merasakan keuntungan dari deretan penataan frekuensi yang dilakukan regulator.
Tri yang memiliki posisi frekuensi berdampingan di 1.800 MHz tak bisa menjalankan FDD LTE. Sementara XL walau sudah mengeluarkan dana nyaris Rp 9 triliun untuk mengakuisisi Axis, menjadi terlambat masuk ke pasar 4G karena tak bisa mengoptimalkan sumber daya yang dimilikinya.
Diharapkan Menkominfo mendatang menjadikan masalah penataan frekuensi untuk mobile broadband sebagai prioritas pekerjaan agar dalam menggelar 4G semua pemain berada dalam level yang sama dan pelanggan dalam posisi diuntungkan.
@IndoTelko