Hasil survei Accenture Digital Consumer tahun 2014 yang mensurvei sebanyak 1.000 pengguna internet berumur 14 hingga lebih dari 55 tahun di kota-kota besar di Indonesia mengenai kecenderungan dalam membeli perangkat elektronik, konten, dan layanan digital memberikan sinyal positif bagi perkembangan ekosistem digital di Indonesia.
Dari survei itu terlihat 32% konsumen rela membayar demi melihat video clip, 37% mau menonton acara TV atau video. Berikutnya sebanyak 33% rela membayar untuk konten olahraga, 51% untuk film 3D.
Sebanyak 34% konsumen juga rela membayar untuk mengakses sosial konten, sebanyak 28% mau melihat foto dan video personal, sekitar 39% mau membayar untuk bermain game, 32% rela membayar untuk berita, dan 36% tak bermasalah membeli buku digital.
Tak hanya itu, konsumen di Indonesia mau berbagi data pribadi tambahan dengan provider apabila diberikan imbalan berupa diskon atau layanan tambahan.
Konten Streaming
Sementara dari hasil penelitian Ericsson ConsumerLab di 23 negara di dunia terhadap 23000 responden terlihat konten streaming mulai mendaki pamornya.
Dari penelitian tersebut terlihat TV streaming kini telah digunakan oleh 75% dari responsen beberapa kali dalam seminggu, mendekati angka 77% yang didapatkan oleh TV konvensional.
Angka tersebut naik cukup drastis dalam satu tahun terakhir, di mana pada tahun 2013 lalu baru sekitar 60% saja yang menggunakan TV streaming. Untuk Indonesia, persentase pengguna TV streaming ternyata lebih tinggi lagi, yaitu 95%, melewati persentase TV konvensional di 90%. Di Indonesia rata-rata orang menghabiskan waktu 6-7,5 jam untuk menonton video dari smartphone dan tablet dalam seminggu.
Fitur-fitur yang diinginkan oleh mayoritas orang Indonesia untuk TV on demand dan video on demand adalah kualitas HD (71%), adanya subtitle Bahasa Indonesia (69%), film box office terbaru dan tayang bersamaan dengan di bioskop (65%), juga bebas dari iklan (62%).
Hambatan
Jika dilihat dari paparan diatas terlihat konsumen sudah siap menerima konten digital yang lebih kaya kreatifitas. Lantas bagaimana di sisi operator dan pengembang aplikasi?
Dari sisi operator tentunya keterbatasan frekuensi menjadi isu utama, terutama dalam memberikan konten video apalagi berkualitas HD. Solusinya penerapan teknologi baru di mobile broadband berbasis FDD LTE atau pemerintah menata ulang alokasi frekuensi.
Langkah pembebasan teknologi menjadi isu kritis karena operator sebenarnya sudah siap menjalankan 4G berbasis FDD LTE dengan resiko bisnis yang ditanggung masing-masing. Tinggal, pemerintah berfikir soal penataan frekuensi jika mendahulukan penerapan teknologi netral dengan sistem evaluasi.
Sedangkan dari sisi pengembang aplikasi tentunya isu harga, mengakses, membayar, dan kreasi kontennya ke pelanggan harus dioptimalkan. Jika dilihat pelanggan rela membayar demi tayangan berkualitas HD atau bahkan 4K UHDTV, Live TV eksklusif dan film box office terbaru. Namun biaya sewa atau berlangganan untuk konten tersebut dinilai 48% responden masih mahal dalam kajian Ericsson.
Pengembang aplikasi harus duduk bersama operator mencari solusi menghadirkan konten dengan harga terjangkau, mudah diakses dan dibayar. Jika tidak, konsumen Indonesia akan cenderung menikmati konten dari luar negeri dimana devisa lari ke pemain asing seperti yang terjadi selama ini.
@IndoTelko