Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) jelang tutup Maret lalu memberikan kejutan bagi 19 pengelola situs media online yang berisikan konten Islam.
Berbekal permintaan dari BNPT dengan nomor 149/K.BNPT/3/2015 tentang situs/website radikal, Kemenkominfo melakukan aksi blokir terhadap 19 media online itu.
Kemenkominfo memang menjadi pelaksana teknis dari pemblokiran sebuah konten di dunia maya. Bekalnya adalah Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet bermuatan Negatif.
Sontak reaksi penolakan atau mengecam tindakan pemerintah bermunculan. Suara dari Komisi I DPR RI menyatakan walau mendukung pemberantasan konten radikal, namun pemerintah diharapkan tidak gegabah dan sembrono dalam aksi blokir situs media Islam online dengan alasan memuat konten paham radikal.
Dalam kacamata parlemen, jika pemblokiran tidak didasari kajian obyektif dan valid, maka menunjukkan kepanikan, kelemahan, dan phobia berlebihan.
Bagi kalangan media pun aksi Kemenkominfo mengingatkan kembali era orde baru dimana pembredelan atas nama melakukan subersif sangat ditakuti waktu itu.
Padahal di era reformasi, kebebasan pers dijamin dalam UU No 40 tahun 1999 ayat 1 yang berbunyi 'Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara'; ayat 2 'Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran'; dan ayat 3 yang berbunyi Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Munculnya pemblokiran ini menimbulkan tanda tanya di publik karena Menkominfo Rudiantara sempat mewacanakan membentuk panel untuk meneliti sebuah konten sebelum diblokir.
Entah kenapa, panel yang bernama Forum Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif (PSIBN) belum terbentuk, jajaran di bawah Pria yang akrab disapa RA itu melakukan pemblokiran ketimbang menunggu Surat Keputusan (SK) pembentukan Panel dikeluarkan sang Menteri.
Padahal, jika panel Forum ini sudah terbentuk dan bekerja, tentunya tensi kontroversi tak tinggi karena nama-nama yang ada di dalam panel lumayan mentereng walau dominasi orang-orang pemerintah atau mereka yang terafiliasi dengan penguasa lumayan banyak.
Pasca adanya panel, hal yang perlu dikritisi adalah pemblokiran sebuah situs atau konten sejatinya harus melalui penyerapan aspirasi publik, klarifikasi dengan pemilik konten, dan adanya keputusan pengadilan.
Jangan jadikan panel sebagai bemper nantinya untuk memuluskan kekuasaan negara.
@IndoTelko