Jika tak ada aral melintang, pemerintah pada Agustus mendatang akan mengeluarkan roadmap untuk bisnis eCommerce di Indonesia.
Dalam membahas roadmap ini, instansi yang terlibat adalah Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perhubungan, Badan Koordinasi Penanaman Modal, dan Badan Ekonomi Kreatif (BEK).
Salah satu isu yang dibahas dalam roadmap adalah masalah pajak bagi pemain eCommerce.
Ditjen Pajak sendiri telah mengeluarkan surat edaran No SE-62/PJ/2013 dan SE-06/PJ/2015. Dalam surat itu pemerintah menyatakan akan mengenakan pajak atas transaksi di online marketplace, classified ads, daily deals dan online retail.
Pelaku usaha di eCommerce yang tergabung dalam Asosiasi eCommerce Indonesia (idEA) merespons dengan memberikan usulan kongkrit ke pemerintah.
Pertama, perlunya penegasan dari Dirjen Pajak bahwa perlakuan transaksi penjualan online retail/eceran sama dengan transaksi penjualan eceran. Sehingga perlakuan atas Faktur Pajak Penjualan Online Retail dapat menggunakan Faktur Pajak yang dilaporkan secara gunggungan sesuai dengan pasal 6.b pada SE No 98/2010.
Penerapan Peraturan Pemerintah (PP) No 46/2013 yang mewajibkan pajak penghasilan ke pebisnis e-commerce yang memiliki omzet dibawah Rp 4,8 miliar per tahun direkomendasikan idEA untuk tidak diberlakukan. Begitupula PPh 23 dibebaskan bagi e-commerce yang berdiri di bawah 5 tahun.
Kedua, tidak perlunya ada pemeriksaan oleh Dirjen Pajak bagi perusahaan Startup e-commerce yang berdiri di bawah 5 tahun dan masih merugi.
Penjual yang memiliki NPWP turut pula dibebaskan selama 3 tahun awal. Barulah setelah 3 tahun, penjual individu bisa memilih apakah ingin menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau memakai aturan PP No 46/2013 dimana dikenakan pajak 1%.
Ketiga, idEA juga meminta pemerintah melakukan sosialisasi kewajiban mengeluarkan Faktur Pajak bagi penjual individu di situs merketplace. Serta perlu membuat database NPWP yang dapat diakses (melalui web service atau API) oleh penyelenggara transaksi online untuk kebutuhan verivikasi penjual.
Terakhir, idEA mengharapkan pemerintah melakukan edukasi untuk pemain e-commerce dalam menetapkan peraturan sesuai dengan model bisnis agar tidak salah dan mematikan industri e-commerce yang baru berkembang. Pemerintah diminta makin mempertegas aturan wajib pembuatan badan hukum bagi pemain e-commerce asing yang berbisnis di Indonesia.
Menunda
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara merespons saran idEA dengan mengusulkan menunda penerapan pungutan pajak bagi eCommerce, setidaknya pemberlakuan tidak di tahun ini.
Reaksi dari Pria yang akrab disapa RA ini bisa dipahami karena semangatnya adalah menumbuhkan industri.
Namun, apakah penundaan ini akan membuat semua pihak mau menerima, terutama pelaku usaha yang selama ini sudah menjadi wajib pajak yang baik?
Pemerintah harus bisa berdiri di semua golongan dalam kasus penerapan pajak bagi eCommerce ini. Misal, bagaimana menjerat pemain asing untuk berkontribusi bagi pajak.
Hal lain adalah harus jelas penundaan untuk jenis pajak yang akan diberikan ke eCommerce. Jika Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) ditunda, tentu ini menimbulkan pertanyaan karena banyak pemain eCommerce memiliki omzet ratusan juta rupiah walau hanya membuka toko di marketplace.
Apalagi, sekarang peritel besar mulai banyak bermain online dan gembar-gembor berinvestasi ratusan juta dollar AS. Apakah penundaan pengenaan PPN dan PPh ini akan dianggap adil?
Belum lagi, data dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat jumlah wajib pajak di Indonesia saat ini sebanyak 60 juta individu dan 5 juta badan usaha. Namun dari jumlah tersebut, hanya 23 juta wajib pajak orang pribadi (WPOP) dan 550 ribu badan usaha yang taat membayar pajak.
Ada baiknya pemerintah membuka telinga untuk suara publik yang lain sebelum buru-buru mengambil keputusan.
@IndoTelko