Operator di Eropa, Telenor Norway, belum lama ini mengumumkan rencana penyelenggaraan jaringan untuk lima tahun medatang.
CTO Telenor Norway Magnus Zetterberg mengungkapkan dalam lima tahun mendatang atau tepatnya pada 2020 akan mematikan jaringan 3G, dan pada 2025 akan melakukan hal yang sama untuk jairngan 2G.
Telenor adalah penguasa 60% dari trafik mobile data di Norwegia. Aksi mendahulukan mematikan layanan 3G ketimbang 2G karena operator ini melihat perangkat yang beredar masih banyak berbasis 2G, apalagi pasar Machine to machine (M2M) didominasi layanan 2G.
Telenor sendiri nantinya mengandalkan layanan data dengan 4G dimana pada akhir 2016 diharapkan sekitar 90% populasi akan dilayani layanan data super cepat itu.Bahkan, operator ini tengah bersiap meluncurkan VoLTE dan 4G+
Pelajaran
Aksi yang dilakukan Telenor ini lumayan menarik karena terkesan melawan arus dimana operator seedang berusaha keras memindahkan pelanggan 2G ke 3G agar berikutnya pelanggan terbiasa dengan 4G dan lima tahun mendatang tak kaget dengan 5G.
Namun, jika ditelisik lebih dalam, ini adalah aksi yang lumayan cerdik dan realistis. Pasalnya, di Eropa isu Network Neutrality menguntungkan pemain Over The Top (OTT) karena hembusan angin condong menekan operator tak boleh membeda-bedakan perlakuan akses terhadap konten.
Di era Internet of Things (IoT) dimana banyak perangkat tersambung melalui aplikasi M2M, menjadikan operator harus pintar-pintar mengelola jaringan agar tidak terus-terusan menjadi dumb pipe alias penghantar data.
Menyadari jika aplikasi M2M banyak berbasis layanan 2G, Telenor lebih memilih mengutamakan teknologi ini ketimbang 3G. Sedangkan untuk layanan data ke pelanggan menyediakan 4G. Ini artinya, Telenor berusaha mendahului para pemain OTT agar tidak menjadi bulan-bulanan di era IoT.
Belajar dari aksi Telenor ini, ada baiknya manajemen operator di Indonesia berani melakukan revolusi dalam pilihan teknologi agar tidak bonyok dipukul OTT atau hanya duduk manis terpukau oleh dongeng para vendor teknologi tentang kehebatan suatu inovasi.
Seharusnya, operator di Indonesia berpeluang besar untuk tidak kalah langkah dan bisa adu cerdik dengan OTT karena regulasi dan adopsi IoT belum semaju di Eropa. Hal yang kurang adalah masalah keberanian melakukan revolusi mental.
@IndoTelko