Tak terasa di penghujung Oktober 2015 ini Rudiantara telah setahun menjabat posisi Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) di Kabinet Kerja.
Sosok yang akrab disapa RA ini dalam setahun memegang amanah sebagai orang nomor satu di Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) cukup berhasil membuktikan dirinya mumpuni menjadi regulator di sektor telekomunikasi.
Prestasi yang bisa dibanggakan dari RA sepanjang satu tahun ini adalah keberhasilannya mempercepat migrasi dan refarming frekuensi 1.800 Mhz untuk memuluskan jalannya 4G bagi operator GSM.
Proses refarming dalam pemerintahan lalu memang sempat mengalami tarik ulur dari operator-operator seluler yang memiliki spektrum di frekuensi 1.800 MHz, seperti Telkomsel, Indosat, XL Axiata, dan Hutchinson Tri, sehingga membuat jalannya sulit terwujud. Sejauh ini refarming telah selesai di 33 dari 42 cluster di seluruh Indonesia.
RA pun kala bertemu dengan media selalu membanggakan keberhasilannya dalam refarming frekuensi itu. “Setidaknya 4G di 1.800 MHz nanti akan jalan Desember 2015. Jika ada yang tanya di sektor Kominfo, apa prestasinya dalam setahun ini, 4G di 1.800 MHz,” katanya menjelang berangkat menuju ke Amerika Serikat, pertengahan pekan lalu.
Prestasi lainnya yang bisa dibanggakan dalam setahun RA menjadi Menkominfo adalah mengeluarkan kebijakan untuk mempercepat pengeluaran izin spektrum frekuensi dan penggunaan mesin dan komputer dalam pembuatannya.
Sepertinya aksi ini dilakukan RA karena belajar dari masa lalu kala dirinya masih menjadi eksekutif di operator yang merasakan lambatnya pelayanan perizinan. Sekarang berada di tampuk kekuasaan, mengkonversi budaya perizinan ke pelayanan coba dikembangkan oleh RA.
Banyak Pekerjaan
Jika dilihat sekilas, aksi RA yang fokus menggeber 4G di 1.800 MHz tak bisa dilepaskan dari strategi Quick Wins untuk membuktikan dirinya memiliki kapabilitas di sektor Teknologi, Informasi dan Komunikasi (TIK).
Sayangnya, Quick Wins hanya berhasil di sektor 4G, tetapi bisa dikatakan gagal di sektor lainnya. Bisa diapungkan untuk penataan frekuensi 850 MHz, RA belum memberikan perhatian padahal batas waktu untuk penataannya sudah mendekat. Hal yang sama juga di 2,3 GHz dimana hingga sekarang belum jelas road map dari frekuensi ini.
RA juga mencoba menerapkan Quick Wins dalam ekosistem Startup dan Over The Top (OTT). Idenya untuk membuat pemodal ventura terbentur aturan pengelolaan keuangan negara, begitu juga dalam mengatur bisnis OTT yang seperti macan ompong.
Aksi Quick Wins juga tak ampuh di penerapan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) untuk perangkat 4G. alih-alih berjalan, sekarang Indonesia tengah disorot oleh WTO karena aturan yang dikeluarkan Kemenkominfo.
Pisau tumpul Quick Wins juga tak berjalan dalam mendorong konsolidasi operator. Rencana mengeluarkan aturan terkait merger dan akuisisi hingga sekarang tak jelas ujungnya.
Belum lagi di sektor penyiaran. Quick Wins ala RA tak mampu membuat TV Digital berjalan mulus sesuai tenggat waktu bahkan ada potensi menjadi molor.
Di sisi komunikasi, Kemenkominfo memiliki peran menjalankan Government Public Relations. Jika dilihat dalam setahun belakangan ini, RA belum berhasil menjalankan peran ini dengan baik bahkan memicu kontroversi di kalangan pemerintahan dengan ide Quick Wins menghadirkan Tenaga Humas Pemerintah (THP).
Belajar dari banyak tersandungnya aksi Quick Wins yang dilakukannya, ada baiknya RA untuk konsolidasi internal dan mengurangi kebiasaan melempar wacana ke publik tanpa ada dukungan kajian yang mendalam terhadap sebuah kebijakan.
Sudah saatnya RA menyusun skala prioritas dari pekerjaan di sisa masa jabatan dan fokus mengimplementasikan Rencana Pita Lebar Indonesia sesuai amanah Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 96 Tahun 2014.
Waktu empat tahun akan berjalan cepat dan sia-sia jika terus menerus mengandalkan Quick Wins yang terbukti hanya menjadi pil penenang sesaat bagi industri TIK nasional.
@IndoTelko