Layanan transportasi berbasis aplikasi (Ridesharing) kembali menjadi topik pembicaraan hangat di negeri ini mulai Kamis (17/12) hingga Sabtu (19/12) lalu.
Pemicunya adalah Menteri Perhubungan Ignasius Jonan yang mengeluarkan Surat Menteri Perhubungan No. UM.302/1/21/Phb/2015, perihal: Kendaraan Pribadi (Sepeda Motor, Mobil Penumpang, Mobil Barang) Yang Digunakan Untuk Mengangkut Orang Dan Atau Barang Dengan Memungut Bayaran.
Dalam surat yang tujuannya koordinasi dengan pemangku kepentingan di sektor transportasi itu, Kemenhub mengumumkan secara resmi pelarangan beroperasinya transportasi berbasis Ridesharing karena melanggar Undang-undang UU 22 Tahun 2009 tentang LLAJ.
Sontak, Netizen menjadi heboh karena dalam surat tersebut yang disorot bukan hanya pemain ridesharing dengan moda roda empat seperti Uber atau Grab Car, namun pemain moda roda dua seperti GoJek, BluJek, LadyJek, atau Grab Bike yang selama ini dikenal dengan Ojek Online juga dilarang.
Penolakan yang keras dari Netizen menjadikan orang nomor satu di negeri ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) turun tangan dan meminta Jonan merevisi kebijakannya dengan membiarkan Ojek Online beroperasi sembari dibenahi kemampuan transportasi massal melayani masyarakat.
Jika dilihat dari aspek sosial, wajar Netizen menolak kebijakan dari Jonan karena ridesharing, khususnya Ojek Online, telah menjadi solusi dalam layanan transportasi. Aplikasi ini berhasil memangkas supply chain dan memberikan kepastian harga dalam menggunakan layanan bagi masyarakat.
GoJek yang menjadi bintang di segmen ini kabarnya memiliki 200 ribu pengemudi dengan 8 juta pengguna. Berbagai sumber memperkirakan dana investasi yang telah diinjeksi ke GoJek sejauh ini sudah mencapai angka di atas $100 juta atau sekitar Rp1,4 triliun.
Perusahaan yang dipimpin Nadiem Makarim ini, telah berdiri sejak tahun 2011 dan berhasil menyabet Global Entrepreneurship Program Indonesia pada Juni 2011. Sekarang kabarnya valuasi dari perusahaan sekitar $500 juta.
Obat Penenang
Ada yang senang, ada yang gusar. Bagi sebagian pelaku usaha, langkah Presiden yang melakukan intervensi ini banyak disayangkan. Pasalnya, kebijakan yang diambil Jonan jika merujuk kepada regulasi sudah benar yakni tak ada akomodasi bagi roda dua menjadi angkutan umum.
Idealnya, Presiden datang dengan solusi merancang aturan baru yang tak hanya menjadi obat penenang bagi pemain ridesharing secara keseluruhan bukan hanya Ojek Online, lebih luas lagi pemain transportasi yang sudah lama eksis. (
Baca juga:
Ridesharing harus penuhi aturan)
Bahkan, lebih komprehensif lagi bagi pemain digital yang berpotensi melakukan disruptive sektoral ketika Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) menjadi enabler perekonomian jika Revolusi Digital yang diinginkan Jokowi dijalankan. (
Baca juga:
Kadin Usulkan regulasi Ridesharing)
Jika kondisi status quo seperti sekarang dibiarkan, dimana keberpihakan terhadap salah satu pemain dipertontonkan regulator, artinya fungsi pemerintah untuk membina semua pelaku usaha tak terwujud. Bukankah Nawacita itu kehadiran negara dirasakan semua lapisan masyarakat?
@IndoTelko