Hasil studi yang diungkap A.T Kearney bersama Axiata belum lama ini menyatakan ekonomi digital bisa menambah US$ 1 triliun ke GDP negara-negara di Asia Tenggara dalam 10 tahun mendatang.
Sementara CA Technologies (APJ) Application Economy Index (AEI) 2016 mengidentifikasi kesiapan 10 pasar Asia Pasifik Jepang (APJ) untuk berkembang di dunia digital saat ini.
Singapura memimpin peringkat di depan Australia dan Korea Selatan. Namun, berbicara mengenai potensi akselerasi pasar masa depan, Tiongkok, India dan Indonesia merupakan negara-negara dengan potensi terbesar.
Di Indonesia, Presiden Joko Widodo menyatakan untuk mengelola negara sebesar Indonesia dengan 252 juta penduduk, yang tersebar di 17 ribu pulau, maka digitalisasi adalah sebuah keniscayaan.
Jokowi menekankan pentingnya peranan Indonesia sebagai ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara dalam berbagai sesi selama kunjungan kerja ke Amerika Serikat 15-17 Februari 2016.
Kunjungan ini terbagi dalam dua bagian, yaitu kunjungan Presiden ke acara ASEAN-US Summit di Sunnylands dan kunjungan ke perusahaan-perusahaan digital ternama dunia di Silicon Valley.
Benang merahnya, mantra ekonomi digital tengah disebar kemana-mana di seluruh penjuru negeri ini dengan target mencipatakan transaksi eCommerce senilai US$ 130 miliar dan menciptakan 1000 teknopreneur dengan nilai bisnis US$ 10 miliar pada tahun 2020.
Pemerintah juga telah menyiapkan enam rencana strategis untuk ekonomi digital. Pertama, fokus kepada UKM dan sebanyak-banyaknya melibatkan UKM dalam pembangunan ekonomi nasional.
Kedua, Petajalan eCommerce yang memadukan 31 inisiatif dari 8 kementerian dan lembaga pemerintah untuk memastikan pertumbuhan sektor teknopreneur dengan target mencapai transaksi eCommerce sebesar US$ 130 miliar pada tahun 2020.
Ketiga, kebijakan yang ramah terhadap penanaman modal asing untuk menarik minat investasi dan penanaman modal ventura.
Keempat, memfasilitasi akses pendanaan untuk digitalisasi UKM dan perusahaan-perusahaan rintisan melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan juga membuat regulasi yang lebih menarik minat modal ventura.
Kelima, menyediakan “exit strategy” yang mudah dan atraktif dengan cara memperdalam likuiditas pasar modal untuk listing perusahaan teknologi.
Keenam, adopsi kebijakan-kebijakan yang pro-inovasi seperti: program nasional untuk menciptakan 1000 teknoprenuer digital nasional dan peraturan “safe harbor” untuk memproteksi pemain-pemain eCommerce
Hal yang menjadi pertanyaan apakah mantra-mantra yang mendukung kebijakan ekonomi digital bisa dijalankan di lapangan dalam waktu singkat?
Jika dilihat secara seksama, ini bukan tugas satu kementerian, tetapi lintas sektoral. Belum lagi mengubah paradigma di sektor pajak dan lainnya. Sudah banyak kasus terjadi, mantra yang dikeluarkan hanya memiliki nilai magis di tataran atas tetapi lemah di lapangan.
Rasanya perlu dipikirkan pembentukan badan otonom untuk mengawal impian menjadi kenyataan atau sihir ekonomi digital bisa menguap di dunia maya.
@IndoTelko