telkomsel halo

Salahkah permintaan memblokir Google?

14:36:08 | 12 Jun 2016
Salahkah permintaan memblokir Google?
Ilustrasi (dok)
Membuka awal Ramadan 2016, Ikatan Cendekiawan Muslim se Indonesia (ICMI) membuat heboh jagat dunia maya di Indonesia.

Melalui Sekjen ICMI Jafar Hafsah organisasi ini merekomendasikan dan mendesak pemerintah untuk segera menghapus dan memblokir situs-situs berbau pornografi dan kekerasan di Youtube dan Google.

“Situs ini telah secara bebas untuk menebarkan konten-konten pornografi dan kekerasan tanpa kontrol sedikitpun. Google dan Youtube telah memberikan dampak negatif bagi Indonesia, jika mereka tidak dapat mengontrol situs-situs yang mereka unggah untuk masyatakat,” kata Jafar Hafsah di portal ICMI.

Rekomendasi ICMI ini diperkuat oleh kondisi belakangan ini. Hampir semua pelaku pornografi dan kejahatan seksual mengaku mendapatkan rangsangan dan inspirasi dari tayangan porno yang bersumber dari mesin pencari google dan youtube yang sangat mudah diakses, baik melalui komputer ataupun telepon genggam.

Berdasarkan penelusuran tim riset ICMI pada situs youtube dan google, Pada rentang waktu 2010-2016, Indonesia merupakan negara pengakses terbesar kedua situs tersebut, namun yang memprihatinkan, konten porno merupakan kata kunci yang paling banyak diakses dibandingkan konten pendidikan, ekonomi, agama dan sosial politik.

Pertimbangan lainnya, situs-situs ini (google, youtube, twitter dan facebook, dll) telah mendapatan keuntungan yang besar dari Indonesia tanpa membayar pajak sepeser pun untuk pembangunan Indonesia. Ini tidak adil bagi industri eCommerce dalam negeri yang dikenakan pajak.

Terkait konten-konten Internet dan teknologi informasi tersebut, ICMI menyatakan Indonesia sebagai negara berpenduduk terbesar sudah saatnya berdaulat degan memiliki mesin pencari dan sosial media sendiri yang merupakan buatan anak bangsa sendiri.

Kontroversi
Sontak pernyataan ini menimbulkan pro kontra di masyarakat, bahkan di ICMI sendiri. Ketua Umum ICMI Jimly Asshiddiqie menyatakan sebenarnya yang dimaksud dalam pernyataan tersebut tak langsung ke YouTube dan Google. “Redaksinya kurang rapi saja, semestinya tak langsung menyebut Google dan YouTube,” ujarnya.

Sedangkan Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Rudiantara mengatakan, Kementerian Komunikasi dan Informasi tak mungkin memblokir keduanya karena Indonesia tak menganut filterisasi ala Tiongkok.

Netizen pun banyak mencibir permintaan ICMI karena dianggap tak mengerti ekosistem ekonomi digital dimana Google sudah menjadi salah satu kitab suci dan episentrum dari perputaran uang di dunia maya.

Lantas salahkah munculnya wacana permintaan menutup layanan milik raksasa internet yang menurut Rudiantara menguasai 80% pendapatan iklan digital di Indonesia? (Baca juga: ICMI minta Google diblokir)

Bisa iya, bisa tidak!. Permintaan itu bisa benar adanya jika kita menggunakan kaca mata kuda dengan berpegang kepada Undang-Undang Pornografi, Undang-undang Perfilman, Peraturan Pemerintah  No.82 Tahun 2012 tentang Penyelengaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE), atau surat edaran tentang Over The Top yang dikeluarkan Rudiantara.

Berbicara pornografi dan konten tak sesuai norma masyarakat adalah wajar Google dan Youtube ditutup jika mengacu ke UU Pornografi dan UU Perfilman. Bicara teknis, menggunakan PP PSTE sudah cukup menjerat Google.

Bukankah alasan ini yang digunakan juga oleh Telkom terhadap Netflix dan secara tak langsung didukung oleh Rudiantara beberapa bulan lalu? (Baca juga: Rudiantara dukung blokir netflix)

Namun, permintaan blokir terhadap Google menjadi keras penolakannya karena dianggap tak memahami peran raksasa internet ini membangun ekosistem digital. Platform yang dimiliki Google banyak dimanfaatkan oleh pelaku ekonomi digital untuk berkreasi karena besarnya ekosistem yang dimilikinya. (Baca juga: Pajak OTT)

Sederhananya, dari platform seperti Youtube, jika seorang pemilik akun memiliki pengikut yang banyak bisa mengumpulkan pundi-pundi puluhan juta rupiah per bulan. Konsep user generated content ini dianggap tak dipahami oleh pihak yang meminta Google diblokir.

Sayangnya, Indonesia belum memiliki Safe Harbor Policy atau aturan semacam Digital Millenium Copyright Act (DMCA) yang melindungi pemilik platform digital internet di era user generated content.

Terlepas dari kontroversinya, sebenarnya ada pesan moral lainnya yang disampaikan ICMI dan menjadi bom waktu yang harus diwaspadai yakni masalah kedaulatan negara di era ekonomi digital.

Direktur e-Business Ditjen Aplikasi dan Telematika (Aptika) Kemenkominfo Azhar Hasyim pun kala menjadi salah satu pembicara di Diskusi Indonesia Cellular Show (ICS) bertema Sharing Economy, Disruptive or Solution yang digelar IndoTelko.com pada Kamis (2/6), mengungkapkan  per Maret 2016  Indonesia mengimpor bandwidth kira-kira 1,5 Tbps atau setara Rp 16 triliun.

Impor bandwidth besar pemicunya karena konten memang ada di luar negeri atau data center dan hosting dari konten di luar negeri walau sebenarnya buatan lokal. (Baca juga: Nasionalisme di era digital)

Okelah, pemerintah tak akan memblokir pemain seperti Google, tetapi membiarkan sepak terjangnya makin menggurita tanpa ada upaya yang jelas menarik potensi devisa tinggal di tanah air di era ekonomi digital, rasanya merupakan sebuah kekonyolan juga.

GCG BUMN
@IndoTelko

Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
More Stories
Data Center Service Provider of the year