telkomsel halo

Hukum rimba di biaya interkoneksi?

14:59:01 | 04 Sep 2016
Hukum rimba di biaya interkoneksi?
Teknisi Telkomsel di salah satu BTS. Telkomsel masih melakukan perlawanan terhadap hitungan biaya interkoneksi (dok)
Antiklimaks! Inilah kata yang layak dialamatkan ke Kementrian Komunikasi dan Informatika (KemenKominfo) pasca 1 September 2016.

Kementrian dibawah komando Menkominfo Rudiantara ini pada 1 September 2016 mengumumkan Surat Edaran (SE) SE Nomor 1153/M.KOMINFO/PI.0204/08/2016 yang ditandatangani oleh Plt. Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika, Geryantika Kurnia dan dirilis pada 2 Agustus 2016 lalu belum berlaku per 1 September 2016.

Alhasil, revisi  biaya interkoneksi yang digodok dalam seri 17 kali rapat dan memakan waktu setahun lebih tak bisa dijalankan. Pemicunya adalah belum lengkapnya Daftar Penawaran Interkoneksi (DPI) dari operator untuk dievaluasi dan disahkan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) dan gagalnya digelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi I DPR.

DPI  merupakan dokumen berisi acuan kerjasama interkoneksi antara satu operator dengan yang lainnya. Dokumen ini disusun oleh semua operator dengan merujuk pada Dokumen Petunjuk Penyusunan DPI (P2DPI) yang tertuang dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 8 Tahun 2006 tentang interkoneksi.

Penyusunan DPI mengacu kepada angka biaya interkoneksi yang dikeluarkan Kementrian Komunikasi dan Informatika.

Sementara dengan Komisi I DPR, Rudiantara telah sepakat tak mengambil keputusan terkait biaya interkoneksi sesuai hasil RDP pada 24 Agustus 2016.

Hukum Rimba
Hal yang menarik disimak adalah pernyataan dari Plt. Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo Noor Iza pasca mengumumkan penundaan pelaksanaan biaya  interkoneksi baru.  

“Mengingat hari ini adalah 1 September yang merupakan masa berlaku sebagaimana tertulis dalam SE tersebut, maka selanjutnya Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI)melakukan komunikasi kepada  operator dan menyampaikan bahwa saat ini DPI belum lengkap terkumpul, sehingga penyelenggara dipersilakan menggunakan acuan yang lama,” katanya.

Namun, suara berbeda dikeluarkan XL, Indosat, dan Tri. Ketiga operator ini ngotot akan mengacu ke biaya interkoneksi versi SE 2 Agustus 2016 dalam DPI yang dimasukkan ke BRTI. (Baca: Tersandung DPI Interkoneksi)

Sementara Telkomsel ngotot  akan menggunakan biaya interkoneksi yang disepakati dalam perjanjian dengan operator lain yang berlaku saat ini (versi lama) sesuai pasal 18 PM 8 tahun 2006, hingga pemerintah mengumumkan hasil perhitungan biaya interkoneksi masing-masing operator sebagai dasar acuan kesepakatan industri dalam membuat penawaran interkoneksi pada DPI masing-masing. (Baca: Telkom Group dikeroyok soal interkoneksi)

Telkomsel juga mendesak pemerintah untuk menjawab rentetan surat keberatan yang dilontarkannya terkait hitungan biaya interkoneksi yang belum dijawab oleh Rudiantara. (Baca: Telkomsel dan interkoneksi)

Suasana makin kusut dengan adanya himbauan dari Asosiasi penyelenggara Telkomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) yang meminta semua anggota menyerahkan DPI tanpa melihat masih terjadinya tarik-menarik angka acuan yang dikeluarkan pemerintah. (Baca: Penundaan interkoneksi)

Pertanyaan sekarang, dari suasana yang kisruh ini dimana regulator yang memiliki peran salah satunya melindungi dan membina industri telekomunikasi? (Baca: Persepsi Interkoneksi)

Jika semua pihak dibiarkan berjalan dengan persepsi masing-masing terhadap sebuah regulasi, buat apa ada regulator? Hukum rimbakah yang berlaku untuk biaya interkoneksi? (Baca: Operator dan Interkoneksi)

Mengingat revisi biaya interkoneksi adalah ritual tiga tahunan, bisa dikatakan ada sesuatu yang salah dari proses perhitungan, sehingga wajar muncul aksi Survival of the fittest dari pelaku usaha.

GCG BUMN
@IndoTelko 

Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
More Stories
Data Center Service Provider of the year