telkomsel halo

Jangan mencari jarum di tumpukan jerami

16:19:31 | 16 Okt 2016
Jangan mencari jarum di tumpukan jerami
Anak-anak muda di bisnis digital(dok)
Google dan Temasek belum lama ini mengeluarkan data tentang potensi bisnis digital Indonesia. Dalam risetnya diprediksi Indonesia akan memiliki 215 juta pengguna internet sebelum 2020 dari 92 juta di tahun 2015.

Bisnis digital di Indonesia akan bernilai sekitar US$81 miliar sebelum 2025. Dari total tersebut eCommerce akan mencapai 57%, atau US$ 46 miliar. (Baca: Potensi bisnis digital)

Bisnis travel online asal Indonesia diperkirakan menjadi pasar terbesar untuk hotel dan penerbangan di Asia Tenggara menjelang tahun 2025. Besar pasar diperkirakan berkembang 17% per tahun dari $5 miliar di 2015 menjadi US$ 24,5 miliar di 2025.

Sementara peluang dari industri jasa transportasi online Indonesia diperkirakan menjadi pasar terbesar disebabkan jumlah populasi, yang mencapai 43% pasar Asia Tenggara menjelang 2025. Besar pasar diperkirakan berkembang menjadi 22% per tahun dari $800 juta di 2015 menjadi US$ 5,6 miliar di 2025.

Indonesia juga dianggap negara paling aktif setelah Singapura untuk kegiatan Venture Capital dalam hal jumlah transaksi. Sekitar 8% dari semua transaksi yang menerima funding Series A+, serupa dengan di Singapura yang sebesar 29 %.

Dengan adanya semua potensi ini tidak mengherankan jika belanja iklan digital yang dikeluarkan diproyeksikan berkembang dari US$ 300 juta  mencapai $2,7 miliar  nantinya.

Besarnya potensi bisnis digital Indonesia ternyata tak diikuti oleh kewajiban pajak ke negara. Setidaknya itu bisa terlihat dari niat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk mulai membidik para pelaku media sosial agar menjalankan kewajibannya ke negara, yakni membayar pajak.

Ini bisa dikatakan aksi kedua dari DJP yang mulai lebih serius meneliti bisnis digital di tanah air setelah melontarkan niat mengejar pajak dari Google dan kawan-kawan belum lama ini.

Dasar Hukum
Dasar pengenaan pajak bagi pelaku komersial di media sosial dalam versi DJP pada Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan (PPh) Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Penghasilan dari individu ini dianggap sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP).

Salah satu cara yang akan dilakukan adalah dengan cara melihat akun para penjual di berbagai media sosial. Ditjen Pajak mengaku kini telah memiliki data terkait pungutan pajak bagi pemilik akun ini.

Diprediksi, pemerintah bisa mendapatkan pemasukan hingga US$ 1,2 miliar atau setara Rp 15,6 triliun, jika bisa menarik pajak dari kegiatan di media sosial tersebut

Dalam Undang-Undang (UU) Perpajakan memang disebutkan bahwa siapapun yang memiliki penghasilan maka mereka adalah objek pajak. Jika penghasilan dari seorang penggiat di media sosial berkat komersialisasi akun  lebih dari Rp4,8 miliar per tahun, maka termasuk Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan wajib dipungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Tantangan
Hal yang harus diketahui,  selama ini  sistem perpajakan di Tanah Air adalah self assessment di mana pelaporan dan penghitungan pajak diserahkan kepada wajib pajak itu sendiri. Sayangnya, tidak semua masyarakat Indonesia taat pajak, begitu juga para pemain di media sosial yang dinilai belum tertib melaporkan penghasilannya.

Mengutip data we are social  pada tahun lalu, di Indonesia ada 72,7 juta pengguna internet dimana 95% mengakses media social, termasuk pelaku UKM dalam memasarkan produk. Akankah mulus memungut pajak dari segmen yang lebih individu ini ketimbang dari Google dan kawan-kawan?

DJP katanya  akan membuat mekanisme perpajakan agar para penggiat komersial yang memanfaatkan media sosial dapat membayar pajak dengan tertib. Dengan mekanisme itu DJP akan mampu mengawasi ketertiban mereka sehingga ketika ada penghasilan masuk lalu dipotong dan dilaporkan.

DJP akan menyurati pemilik akun dan wajib pajak yang terbukti mendapat penghasilan dari internet berdasarkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Data ini akan terhubung dan langsung masuk ke pangkalan data Direktorat Pajak.

Benarkah akan semudah ini? Sedikit kita tengok program Tax Amnesty. Jumlah wajib pajak yang melakukan repatriasi aset ternyata masih minim. Dari target Rp 1.000 triliun, hingga 13 Oktober 2016, dana repatriasi yang terkumpul baru mencapai Rp 143 triliun atau setara 14,3%. Sedangkan total uang tebusan yang masuk dari amnesti pajak Rp 94 triliun.

Kondisi ini sedikit mengecewakan, sebab tujuan utama program amnesti pajak adalah untuk mengembalikan aset milik WNI yang selama ini berada di luar negeri kembali ke sistem keuangan Indonesia.

Program Tax Amnesty sudah memberikan insentif yang dianggap menggiurkan agar individu atau perusahaan taat pajak, tetapi kenyataan masih minim dari target. Bagaimana dengan mengejar pajak dari pelaku media sosial yang selama ini menikmati kebebasan dan memiliki pemahaman dunia internet itu gratis?

Jika DJP tetap ingin menghabiskan energi mengejar pajak dari segmen penggiat media sosial, tentu tak ubahnya seperti mencari jarum di tumpukan jerami. (Baca: Mengejar Pajak Selebgram)

Kenapa tidak mengejar gajah di pelupuk mata yakni pemilik platform yang notabene pasarnya dikuasai asing seperti Google dan kawan-kawan saja? (Baca: Berburu pajak Google)

Setidaknya musuh yang dihadapi lebih jelas tanpa harus mematikan semangat kreatif dari anak-anak muda yang tengah kesulitan mencari pekerjaan karena negara belum mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang maksimal bagi generasi penerus.

GCG BUMN
@IndoTelko

Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
More Stories
Data Center Service Provider of the year