Persidangan terhadap terdakwa kasus penistaan agama, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada Selasa (31/1) membetot perhatian banyak pihak.
Dalam persidangan yang menghadirkan saksi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH. Maruf Amin, Tim kuasa Hukum dan Ahok mencecar tentang kebenaran percakapan telepon antara dirinya dengan Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Kutipan yang beredar dari rekaman di Youtube kira-kira, "Tanggal 6 jam 10.16 (WIB) disampaikan oleh pengacara saya, ada bukti, ditelepon untuk minta mempertemukan, artinya saudara saksi sudah tidak pantas menjadi saksi, karena sudah tidak objektif lagi, ini sudah mengarah mendukung pasangan calon nomor satu, ini jelas sekali tanggal 7 Oktober," kata Ahok dalam persidangan itu.
Sebelumnya, Tim Pengacara Ahok telah mengeluarkan pertanyaan ke KH. Maruf Amin, berikut kutipannya, "Iya berada di lantai empat, saya ingin menanya apakah ada pada hari Kamis sehari sebelum anda bertemu paslon AHY (Agus Harimurti Yudhoyono) dan Sylvi (Sylviana Murni), anda menerima telpon dari pak SBY pukul 10.16 (WIB) yang menyatakan adalah untuk mengatur agar pak Agus dan Sylvi diterima di kantor PBNU dan kedua untuk segera mengeluarkan fatwa terkait kasus penistaan agama yang dilakukan oleh pak BTP (Ahok), ada atau tidak?" tanyanya seperti dikutip dari rekaman Youtube yang berasal dari berita TVone. (
Baca: Heboh Penyadapan)
Isu penyadapan
Sontak media sosial menjadi heboh dengan keluarnya pernyataan tersebut. Netizen pun mencurigai terjadinya penyadapan terhadap SBY dan KH Maruf Amin. Logikanya, kenapa Tim Pengacara Ahok bisa mengetahui persis waktu telepon antara SBY dan KH. Maruf Amin hingga ke menitnya? Belum lagi diperkuat dengan kesimpulan pada dua pokok pembicaraan.
Kecurigaan makin kuat karena SBY pun mengakui adanya pembicaraan telepon antara dirinya dengan KH Maruf Amin. Namun, SBY meminta kepada pihak-pihak yang mengetahui pembicaraan dirinya dengan Ketum MUI itu untuk membuka transkrip pembicaraan agar tidak terjadi perubahan terhadap konten dan konteks percakapan.
SBY pun mengingatkan penyadapan tanpa perintah pengadilan adalah kegiatan ilegal. Konstitusi yang dimiliki Indonesia sama dengan negara lain, melarang penyadapan ilegal. "Saya memohon, kalau memang pembicaraan saya kapanpun, saya berharap pihak kepolisian, kejaksaan dan pengadilan untuk menegakkan hukum sesuai UU ITE. Saya hanya mohon itu, supaya rakyat bisa mendapatkan keadilan. Dan mulai saat ini saya akan memantau proses hukumnya, karena ini bukan delik aduan. Persamaan hukum adalah hak konstitusional rakyat," tegasnya.
Tak puas sampai disitu SBY menambahkan, "Kalau yang yang menyadap ilegal adalah tim pengacaranya Pak Ahok atau pihak lain, saya minta diusut, siapa yang menyadap itu. Ada lembaga Polri, BIN dan juga Bais TNI, itulah institusi negara yang memiliki kemampuan untuk menyadap. Pemahaman saya, penyadapan tidak boleh sembarangan, harus berdasarkan aturan UU. Tetapi kalau misalnya yang menyadap bukan Pak Ahok, tetapi lembaga lain itu, maka hukum harus ditegakkan. Harus diketahui siapa yang menyadap, Supaya jelas, karena yang kita cari adalah kebenaran. Kalau saya yang dikawal paspampres saja bisa disadap, bagaimana dengan rakyat yang lain," tegasnya.
Sadar suasana mulai panas, Anggota Tim Advokasi Bhinneka Tunggal Ika, Humphrey R. Djemat menjelaskan dugaan adanya percakapan antara SBY dengan Ketua MUI Ma'ruf Amin sebelum penetapan pendapat dan sikap keagamaan MUI. "Saya bilangnya komunikasi ya, bukan rekaman. Ini sudah jauh hari sebelum persidangan. Kita akan berikan kepada Majelis Hakim. Belum bisa kita pastikan kapan. Tunggu tanggal mainnya," ujar Humphrey saat konferensi pers di Restoran Aroma Sedap, Menteng pada Rabu (1/2).
Bantah
Pemerintah yang berada dalam sorotan netizen pun ramai-ramai membantah adanya penyadapan terhadap SBY. Sekretariat Kabinet Republik Indonesia menegaskan tidak pernah ada perintah atau instruksi penyadapan kepada SBY karena ini bagian dari penghormatan kepada presiden-presiden yang ada.
"Tidak pernah ada perintah atau instruksi penyadapan kepada SBY," tegas Seskab Pramono Anung seperti dikutip dari laman Setkab.go.id (1/2).
Badan Intelijen Negara (BIN) dalam rilis resmi yang dikeluarkan Deputi VI BIN menegaskan informasi penyadapan terhadap SBY dan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma'ruf Amin bukan berasal dari lembaga tersebut.
Selain itu juga disampaikan, bahwa informasi adanya penyadapan, menjadi tanggung jawab Ahok dan kuasa hukumnya. Ini karena Ahok dan kuasa hukumnya tidak menyebutkan secara tegas apakah komunikasi itu dalam bentuk verbal secara langsung atau percakapan telepon yang diperoleh melalui penyadapan.
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara mengeluarkan pernyataan lumayan keras terkait terus bergulirnya isu penyadapan terhadap mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
“Saya bilang, siapa lembaga negara yang lakukan itu? Gak ada kan? Kayak kurang kerjaan aja. Lagian itu kan timbul (isu penyadapan) di pengadilan, selesaikan di pengadilan dong,” ketus Pria yang akrab disapa RA itu usai menghadiri acara “Grab 4 Indonesia”, kemarin.
Sayangnya, bantahan yang dikeluarkan sejumlah pejabat pemerintah bukan malah menenangkan suasana, tetapi membuat Netizen makin penasaran, benarkah ada penyadapan terhadap mantan Presiden keenam itu?
Tak ayal jika sejumlah penggiat telekomunikasi mempertanyakan masalah ini karena penyadapan bukan oleh aparat penegak hukum melanggar pasal 40 UU Telekomunikasi No.36 1999 dimana sesuai pasal 56 ancaman hukumannya pidana penjara paling lama 15 tahun. (Baca: Panas isu penyadapan)
Jika dirujuk ke belakang, isu penyadapan juga pernah dialami SBY kala masih menjadi Presiden. Kala itu, mantan karyawan CIA, Edward Snowden meyakinkan dunia jika Indonesia memang menjadi incaran AS dan Australia.
Snowden menguak bahwa penyadapan ini melibatkan jaringan komunikasi dan koleksi data dalam jumlah besar, milik banyak pengguna seluler di Indonesia.
Kala kabar penyedapan yang melibatkan Australia pada November 2013 dimana yang disasar sejumlah pejabat tinggi negara, Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) telah memanggil operator telekomunikasi dan menyatakan tak ada pelaku usaha yang terlibat aktif dengan aksi ilegal itu.
Sebenarnya, yang diinginkan oleh masyarakat adalah adanya aksi kongkrit dari penegak hukum dari isu ini untuk penyelidikan awal. Bukan sibuk mengeluarkan bantahan di media massa. (
Baca:
Pusaran Penyadapan)
Harap diingat, penyadapan yang dilindungi oleh Undang-undang saja terikat sejumlah aturan dan kode etik. Jika penyadapan ilegal atau mendapatkan bocoran komunikasi dibiarkan, tentu ini sangat mengerikan bagi kehidupan berdemokrasi.
@IndoTelko