Sidang pertama kasus mega korupsi KTP elektronik yang menghadirkan dua terdakwa yakni mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Sugiharto, dan mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Irman, di Pengadilan Tipikor, Jakarta Kamis (9/3) lumayan menyedot banyak perhatian khalayak.
Dalam dakwaan yang dibacakan Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terungkap dari anggaran senilai Rp 5,9 triliun, sekitar 51% digunakan untuk proyek, sementara 49% untuk dibagi-bagikan ke Kemendagri, anggota DPR RI, dan keuntungan pelaksana pekerjaan atau rekanan.
Terbongkarnya bau bangkai dari mega proyek ini membuat banyak kalangan terhenyak. Bagaimana tidak, untuk proyek e-KTP sudah banyak pengorbanan yang dilakukan, tak hanya dari sisi anggaran, tetapi juga waktu dan tenaga.
Tak ayal, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun melontarkan kekecewaannya dan menilai kasus korupsi e-KTP merupakan masalah besar yang dihadapi pemerintah saat ini.
Menurut Jokowi, bila penyelenggaraan proyek tersebut sejak awal dilaksanakan dengan benar, manfaatnya akan sangat dirasakan masyarakat maupun pemerintah. Salah satunya berjalannya sistem Single Identity Number (SIN) yang digunakan sebagai acuan pembuatan paspor tanpa fotokopi KTP, SIM, perbankan, perpajakan, urusan pilkada, dan lainnya.
"Sekarang menjadi bubrah (berantakan) semua gara-gara anggaran dikorup. Jadinya hanya KTP yang dulunya kertas sekarang plastik hanya itu saja. Sistemnya belum benar," ucap Jokowi belum lama ini.
Dikatakannya, pasca terbongkarnya kasus mega korupsi e-KTP, Kementerian Dalam Negeri kini ragu-ragu untuk menuntaskan penerapan e-KTP ke masyarakat. "Jadi kalau ada kekurangan blangko, masalah hambatan itu imbas dari problem e-KTP. Jadi kita mohon maaf kalau masih ada problem seperti itu," ujarnya.
Moratorium
Lantas apa hikmah yang bisa kita ambil dari kasus ini? Apakah proyek e-KTP yang dari awal sudah sarat perselingkuhan ini layak diteruskan? Padahal Konsorsium PNRI sebagai pemenang terbelit masalah hukum jika mengacu ke dakwaan jaksa tersebut.
Alangkah baiknya pemerintah memanfaatkan momentum terbongkarnya kasus ini untuk melakukan moratorium dulu proyek e-KTP. Memulai sesuatu yang lebih bersih dan baru serta memperbaiki sisi teknis adalah pekerjaan utama yang harus dibereskan sebelum digeber kembali proyek ini.
Toh, jika dilihat pengadaan blanko e-KTP beberapa waktu lalu gagal lelang dengan alasan peserta lelang pada Desember 2016 lalu tidak memenuhi syarat uji teknis. Solusi melakukan perekaman data masyarakat diberikan surat keterangan sementara oleh Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil bisa dipilih ketimbang memaksakan melanjutkan proyek e-KTP versi bermasalah ini dengan menggelar lelang ulang untuk pengadaan blanko.
Soalnya, ada isu keamanan data kependudukan yang dikuasai perusahaan asing harus segera dibereskan. Kabarnya, data e-KTP rawan diselewengkan karena masih tersimpan di server perusahaan di Amerika Serikat.
Pemicunya, PT Biomorf Lone Indonesia, yang memiliki perusahaan induk di Amerika, ditunjuk sebagai subkontraktor oleh konsorsium pemenang tender. Biomorf menjadi penyedia sistem informasi untuk perekaman dan input data e-KTP. (
Baca:
Divestasi Biomorf)
Biomorf kabarnya tak mau menyerahkan data kependudukan yang telah dikerjakan dengan alasan memiliki piutang sebesar Rp 390 miliar untuk program perawatan dan input data sejak 2014 hingga sekarang. Biomorf masih menguasai 167 juta data penduduk Indonesia. Sedangkan konsorsium tak bisa melunasi utang karena kehilangan kendali atas rekening mereka sejak kasus korupsi e-KTP ditangani KPK.
Data penduduk yang dikuasai oleh Biomorf ini adalah aset tak bernilai karena berisikan profil lengkap dari setiap penduduk di Indonesia. Pemerintah harus memastikan data tersebut bisa segera diamankan karena menyangkut data kependudukan yang sangat penting dan rawan disalahgunakan.
Jika moratorium dari proyek yang dipilih pemerintah, dilanjutkan dengan membereskan sejumlah masalah teknis, maka bisa dengan tenang melakukan evaluasi dan merencanakan proyek lebih transparan agar bisa mendapatkan kembali kepercayaan dari setiap warga negara.
Memang ini pil pahit yang harus ditelan untuk Indonesia lebih baik. Sebuah langkah yang layak dipertimbangkan!
@IndoTelko