Penataan bisnis transportasi berbasis teknologi (Ride-hailing) sepertinya masih menjadi "Pekerjaan Rumah" (PR) yang tak kunjung bisa diselesaikan oleh Kabinet Kerja sejak 2014 lalu.
Ride-hailing yang dulunya disebut dengan Ride-sharing ketika pertama kali muncul beberapa tahun lalu menjelma menjadi bisnis yang raksasa dan memberikan dampak bagi perekonomian Indonesia.
Apa bedanya Ride-hailing dengan Ride-sharing? Ride-hailing adalah seorang pemilik kendaraan menjalankan pemesanan dari pelanggannya dengan mengantarkan ke tujuan yang ditentukan. Sementara Ride-sharing lebih kepada karena adanya kelebihan kapasitas dari si pemilik kendaraan maka rela berbagi dengan orang lain.
Media asing sudah sejak beberapa tahun lalu tak lagi menyebut aplikasi Uber, Grab atau GO-JEK sebagai ride-sharing, tetapi ride-hailing. Pasalnya, putaran uang triliunan rupiah ada di bisnis ride-hailing ini.
Uang triliunan rupiah tak hanya dinikmati oleh pemilik aplikasi seperti GO-JEK, Uber, atau Grab dalam bentuk investasi, tetapi juga ke mitra pengemudi.
Setidaknya itu terlihat dalam kajian yang dilakukan Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LD FEB UI) menunjukkan kontribusi salah satu aplikasi ride-hailing, Go-Jek, sebesar Rp 9,9 triliun per tahun terhadap perekonomian Indonesia.
Nilai tersebut didapatkan dari kontribusi penghasilan mitra pengemudi Go-Jek sebesar Rp 8,2 triliun dan melalui mitra UMKM sebesar Rp 1,7 triliun setiap tahunnya.
LD FEB UI mengadakan riset pada Oktober-Desember 2017 terhadap 3.315 mitra pengemudi, 806 mitra UMKM, serta 3.465 konsumen. Survei dilakukan di Denpasar, Balikpapan, Bandung, Jabodetabek, Yogyakarta, Makassar, Medan, Palembang, dan Surabaya bekerja sama dengan Go-Jek.
Dari hasil riset itu dinyatakan mitra pengemudi memberikan tambahan Rp 682,6 miliar per bulan yang masuk ke ekonomi nasional semenjak bergabung dengan Go-Ride.
Setelah bergabung dengan Go-Jek, pendapatan rata-rata seluruh mitra pengemudi sebesar Rp 3,31 juta. Pendapatan rata-rata sebagai mitra pengemudi penuh waktu sebesar Rp 3,48 juta per bulan.
LD FEB UI juga memperkirakan terdapat tambahan Rp 138,6 miliar per bulan yang masuk ke ekonomi nasional semenjak mitra UMKM bergabung dengan Go-Food.
Sebanyak 82% mitra UMKM mengaku mengalami peningkatan volume transaksi. Adapun, 30% UMKM mengaku terdapat pengurangan biaya karena bergabung denga Go-Jek.
Konsumen juga merasa diuntungkan dari kehadiran Go-Jek. Sekitar 89% konsumen mengatakan bahwa Go-Jek telah memberikan dampak yang baik bagi masyarakat secara umum.
Adapun 99% konsumen merasa puas menggunakan Go-Jek dan 98% konsumen merasa nyaman menggunakan Go-Jek. Sementara, 96% konsumen merasa aman menggunakan Go-Jek.
Jika Go-Jek berhenti beroperasi, 78% konsumen mengatakan bahwa pemberhentian tersebut akan membawa dampak buruk bagi masyarakat.
Bola Panas
Sayangnya, dibalik "cerita manis" yang disajikan Ride-hailing selama ini masih ada PR yang belum terselesaikan. Setidaknya itu terlihat dari demonstrasi besar-besaran yang dilakukan mitra pengemudi Ride-hailing ke istana negara jelang tutup Maret 2018.
Gelombang demonstrasi pertama datang dari mitra pengemudi roda dua atau dikenal sebagai Ojek Online yang mengeluhkan tarif kemurahan. Gelombang protes kedua dari mitra pengemudi roda empat atau taksi online yang merasa tak imbangnya hubungan kerja dengan pemilik aplikasi sehingga butuh adanya aturan yang komprehensif.
Pemerintah dalam menghadapi "gejolak" dari bisnis Ride-hailing terlihat masih gagap dan cenderung ingin menyenangkan semua pihak dalam menyelesaikan sebuah masalah.
Simak saja hasil rapat Pembahasan Taksi Online dan Ojek Online bersama Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko, Menteri Kominfo Rudiantara, Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri, Menteri Perhubungan, dan perwakilan Grab dan Gojek, di Kantor Staf Presiden, Rabu sore (28/3).
Pertemuan itu seperti mengembalikan isu yang sudah jelas pokok permasalahannya ke meja diskusi, sementara pokok masalah tak juga terselesaikan seperti tahun-tahun lalu.
Solusi
Seandainya pemerintah berani mengambil sebuah kebijakan yang tegas dan berani, sebenarnya masalah penataan Ride-hailing akan bisa cepat diselesaikan.
Pemerintah harusnya membagi solusi yang diberikan ke bisnis Ride-hailing dengan aksi jangka pendek dan panjang. (
Baca:
Mengubah Ride-Hailing)
Jangka pendek, pemerintah harus mulai menjalankan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) 108 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek yang mengatur tentang Angkutan Sewa Khusus atau dikenal aturan untuk taksi online dengan penegakkan hukum maksimal.
Sudah terlalu banyak kemudahan yang diberikan Kementrian Perhubungan (Kemenhub) dalam menjalankan PM 108/2017 bagi mitra pengemudi atau pemilik mobil. Mulai dari pengurusan SIM A Umum secara kolektif, KIR dipermudah, bahkan pemasangan stiker yang bisa sangat fleksibel.
Menegakkan PM 108/2017, artinya tidak saja menunjukkan wibawa dari pemerintah, tetapi juga komitmen dari semua pemangku kepentingan di bisnis ini bahwa ingin diatur. (
Baca: Episode Ride-Hailing)
Aksi jangka pendek lainnya yang harus dilakukan pemerintah adalah meminta Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyelidiki transaksi Uber dan Grab yang merger untuk pasar Asia Tenggara.
Berdasarkan kesepakatan, Uber akan mengambil 27,5% saham di Grab, yang bernilai sekitar US$6 miliar. Sementara, CEO Uber Dara Khosrowshahi akan bergabung dengan dewan perusahaan yang berbasis di Singapura. Pemegang saham mayoritas kedua perusahaan aplikasi transportasi ini adalah private equity asal Jepang, SoftBank.
Pada 2017, Grab mengaku menyediakan layanan mobil, motor, taksi, dan carpooling di tujuh negara dan 142 kota di Asia Tenggara, dengan satu dari tiga penumpang yang menggunakan lebih dari satu layanan Grab.
Saat itu, Grab telah menguasai 95% pangsa pasar dalam third-party taxi-hailing dan 72% dalam private vehicle hailing, dan telah menjadi armada transportasi darat terbesar di Asia Tenggara dengan lebih dari 2 juta pengemudi dalam platformnya.
Tak heran, Komisi Persaingan Singapura masuk mengevaluasi transaksi kedua raksasa ini. Pemerintah Malaysia juga akan melakukan penyelidikan terhadap akusisi bisnis Uber Asia Tenggara oleh Grab. Komisi Angkutan Transportasi Darat (SPAD) akan bertemu dengan komisi persaingan usaha Malaysia (MyCC) untuk membahas akuisisi tersebut.
Rasanya hal yang aneh jika KPPU Indonesia tak masuk mengeksaminasi aksi korporasi kedua aplikasi ini mengingat Indonesia adalah pasar terbesar Ride-hailing di Asia Tenggara. (
Baca:
Merger Uber-Grab)
Masuknya KPPU mengevaluasi aksi korporasi itu juga akan menjadi pintu masuk untuk mengetahui biaya produksi, penguasaan pasar dan hal lainnya bersifat operasional dalam sebuah bisnis ride-hailing. Dari data-data tersebut nantinya bisa menjadi rujukan membuat formula tarif atau standar pelayanan minimum yang bisa diterima semua pihak (mitra pengemudi dan aplikasi).
Terakhir, untuk solusi jangka panjang sudah saatnya merealisasikan UU Lalu Lintas Dan Angkutan jalan (LLAJ) untuk mengatur standar pelayanan minimum (SPM) transportasi online, moda untuk transportasi online, hingga penyelenggara transportasi online. (
Baca:
Revisi UU LLAJ)
Implementasi dari langkah-langkah ini tentunya membutuhkan jadwal dan komitmen yang disepakati bersama. Tanpa adanya komitmen dan konsistensi dari semua pihak, maka telenovela penataan Ride-hailing akan terus berulang-ulang menghiasi media massa tanpa ada kepastian dan yang paling dirugikan adalah mitra pengemudi serta pengguna.
@IndoTelko