telkomsel halo

Belajar dari Eropa menaklukkan raksasa internet

14:21:00 | 22 Jul 2018
Belajar dari Eropa menaklukkan raksasa internet
Komisi Eropa akhirnya menuntaskan penyelidikannya terhadap raksasa Internet asal Amerika Serikat (AS), Google, yang telah dimulai sejak beberapa tahun lalu.

Komisi Eropa menyelidiki Google terkait dengan monopoli yang dilakukan mesin pencari tersebut. Monopoli yang dilakukan Google disebut-sebut telah diteliti sejak November 2010. Google telah menjadi sasaran penyelidikan Komisi Eropa karena dianggap melakukan monopoli.

Hal ini yang kemudian merugikan layanan Internet perusahaan lainnya di benua biru tersebut, salah satunya Microsoft. Google diduga telah mengubah algoritma di mesin pencarinya dengan menampilkan hasil pencarian yang lebih ditujukan ke berbagai layanannya.

Dicontohkan, ketika pengguna di Eropa mencari kata "email” di mesin pencari Google, yang tampil di halaman pertama kebanyakan memuat layanan e-mail miliknya, Gmail, ketimbang Yahoo Mail, Hotmail dan semacamnnya.

Hal ini juga berlaku terhadap hasil pencarian yang hanya berhubungan dengan perusahaan tertentu yang telah bermitra iklan dengan Google.

Hasil penyelidikan dari Komisi Eropa akhirnya menjatuhkan denda kepada Google sebesar 4,34 miliar euro atau Rp 72,78 triliun dalam menyelenggarakan platform Android.

Hasil temuan menyatakan ada tiga cara ilegal yang dilakukan Google dalam menjalankan bisnis Android. Pertama, manufaktur perangkat Android diharuskan memasang aplikasi Google Search dan browser Chrome sebagai syarat mendapatkan akses ke Play Store.

Google juga membayar sejumlah manufaktur dan operator yang setuju memasang aplikasi Google Search secara eksklusif di perangkatnya.

Tak hanya itu, Google juga dianggap mencegah manufaktur menjual perangkat yang menjalankan versi Android alternatif. Caranya, perangkat mereka diancam tidak mendapatkan izin untuk menggunakan aplikasi Android.

Perusahaan induk Alphabet telah diberikan 90 hari untuk mengubah praktik bisnisnya atau menghadapi hukuman lebih lanjut hingga 5% dari omset harian rata-rata.

Menurut Komisaris Kompetisi Komisi Eropa, Margrethe Vestager konsumen membutuhkan pilihan. Diharapkan dengan adanya keputusan itu bisa mengarahkan manufaktur untuk menjual perangkat pintar menggunakan berbagai versi sistem operasi Android ke Google, seperti Fire OS milik Amazon.

Alphabet diprediksi dapat dengan mudah membayar denda, karena cadangan kasnya berjumlah hampir US$103 miliar  pada akhir Maret.

Kepala eksekutif Google Sundar Pichai menulis dalam blog-nya sebagai tanggapan. "Inovasi cepat, pilihan luas, dan murah adalah ciri khas klasik dari persaingan yang kuat dan Android telah memungkinkan semuanya," tulisnya.

"Keputusan hari ini menolak model bisnis yang mendukung Android, yang telah menciptakan lebih banyak pilihan untuk semua orang, tidak kurang. Kami bermaksud mengajukan banding," katanya.

Asal tahu saja, keputusan diatas bukan pertama kali Komisi Eropa menghukum  Google. Komisi Eropa telah mendenda Google 2,4 miliar euro atas penyelidikan terpisah ke dalam layanan perbandingan belanja. Untuk putusan ini, Google sedang dalam proses mengajukan banding.

Komisi Eropa juga tengah melakukan memiliki investigasi ketiga yang sedang berlangsung di bisnis penempatan iklan Google AdSense.

Dibela Pemerintah
Hal yang menarik adalah cuitan dari  Presiden Amerika Serikat Donald Trump atas putusan Komisi Eropa itu dalam akun resmi Twitter-nya, @realDonaldTrump, yang berjanji akan melindungi Google. Tak mau tinggal diam, Donald Trump akan segera mengambil tindakan.

"Sudah saya bilang! Komisi Eropa baru saja mendenda US$ 5 miliar ke salah satu perusahaan terbaik kita, Google. Mereka benar-benar mengambil untung dari Amerika Serikat, tetapi hal ini tentu tidak akan berlangsung lama!" cuit Donald Trump.

Soal membela kepentingan perusahaannya, AS patut diacungi jempol. Lihat saja aksi dari tujuhbelas anggota parlemen Amerika mendesak CEO Facebook dan Google melawan perubahan yang dicanangkan oleh aturan keamanan siber baru di Vietnam yang oleh kritikus disebut memberikan kekuatan lebih bagi pemerintah untuk menindak suara-suara ketidakpuasan.

Parlemen Vietnam pada bulan lalu mengeluarkan aturan yang akan berlaku mulai 1 Januari 2019 mewajibkan Facebook, Google, dan perusahaan teknologi lainnya untuk menyimpan data pribadi pengguna di dalam negeri serta membuka kantor di sana.

“Jika pemerintah Vietnam mendesak perusahaan anda untuk membantu penyensoran, maka ini merupakan masalah yang perlu diangkat pada level tertinggi secara diplomatis,” tulis Kaukus Vietnam dalam surat yang diketahui Reuters.

“Kami mendesak Anda membuktikan misi untuk mempromosikan keterbukaan dan konektivitas,” tulis surat bertanggal 12 Juli dan ditandatangani tujuhbelas orang anggota.

Masih ingat nasib apes yang dialami ZTE di Amerika Serikat? Departemen Perdagangan AS baru saja mencabut larangan bagi perusahaan-perusahaan Amerika yang menjual suku cadang kepada ZTE setelah perusahaan Tiongkok itu menyetorkan US$ 400 juta dalam bentuk escrow sebagai bagian dari penyelesaian yang dicapai bulan lalu. Penyelesaian itu juga termasuk denda US$ 1 miliar yang dibayarkan kepada Departemen Keuangan AS pada bulan Juni.

Jika ditarik ke belakang, sangat banyak sebenarnya peristiwa hukum yang membuat perusahaan berbasis Teknologi Informasi asal AS tersandung dengan sebuah aturan yang ada di tempat negaranya beroperasi karena melanggar aturan lokal.

Hal yang menjadi pertanyaan sekarang bagaimana dengan Indonesia? Sejauh ini kita belum pernah mendengar ada penegakkan hukum maksimal ke raksasa internet global, terutama dari AS, padahal jelas pemerintah memiliki sejumlah senjata untuk membuat platform asing itu lebih banyak berkontribusi, setidaknya minimal dari sisi pajak ke negara.

Jika bicara dukungan, publik sudah memberikan semuanya ke pemerintah untuk bisa menundukkan raksasa internet global seperti Google atau Facebook, sayangnya sejumlah peluang tetap saja terbuang sia-sia ketika masuk tahap eksekusi.

Tentu kita masih teringat dengan kasus isu pajak dari perusahaan asal AS ini yang menjadi antiklimaks kala nominal yang dibayarkan ke negara tak sebesar yang digembar-gemborkan.

Bahkan dalam kasus Cambridge Analytica yang melibatkan Facebook pun pemerintah dalam hal ini Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) terkesan “enggan” menyentuh raksasa internet itu.

Padahal, jika belajar dari Komisi Eropa atau nekadnya Vietnam dalam membuat aturan, sebenarnya menghadapi raksasa dari AS tak begitu susah, asalkan modal utama dimiliki yakni nyali dan konsistensi menegakkan aturan.

Sesuatu yang agak “mahal” rasanya bagi regulator di tanah air.

GCG BUMN
@IndoTelko

Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
More Stories
Data Center Service Provider of the year