Jagat dunia maya dibuat heboh dengan aksi aktivis Ratna Sarumpaet di awal Oktober 2018.
Wanita yang dikenal kerap berseberangan dengan pemerintah ini membuat heboh jagat dunia maya karena mengaku mengalami "Penganiayaan" pada sejumlah tokoh politik yang tengah terlibat dalam kontestasi Pemilihan Presiden 2019.
Warganet mengetahui kabar "penganiayaan" dari cuitan beberapa tokoh politik nasional dan dilanjutkan dengan pertemuan dari calon presiden Prabowo Subianto bersama sejumlah tokoh menemui Ratna untuk mengklarifikasi isu "penganiayaan" itu.
Foto-foto pertemuan itu pun viral di lini masa dan diteruskan dengan adanya konferensi pers digelar oleh Prabowo yang menyayangkan "peristiwa penganiayaan" pasca mendengar langsung cerita sang korban.
Warganet pun kian bersemangat mengikuti kisah "penganiayaan" tersebut yang konon menurut Ratna terjadi di sekitar Bandara Husein Sastranegara, Bandung.
Pihak kepolisian ketika berita "penganiayaan" ini viral di media sosial (medsos) ternyata tak diam. Gerak cepat untuk membuktikan benarkah terjadi penganiayaan dilakukan kepolisian.
Merujuk kepada laporan dengan judul "Laporan Penyelidikan Viralnya Berita Pengeroyokan Ratna Sarumpaet" yang beredar di media sosial terlihat patroli siber dari aparat penegak hukum telah mendeteksi beberapa media online yang pertama memberitakan kabar "penganiayaan" tersebut.
Akun sejumlah politikus seperti Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon, Anggota DPR Rachel Maryam pada 1 Oktober di-screenshot.
Dalam cuitannya memang kedua tokoh tersebut mengkonfirmasi perihal adanya "penganiayaan" terhadap Ratna Sarumpaet pada 21 September 2018.
Merujuk pada laporan kepolisian, ternyata pada tanggal 21 September 2018 tak ada kegiatan konferensi internasional yang menjadi alasan Ratna berada di Bandung.
Tak hanya itu, Aviation Security Bandara Husein Sastranegara pun tak menerima laporan terkait kekerasan di tanggal tersebut. Ini makin diperkuat dengan manifest yang ada di bandara Husein Sastranegara yang tak ada nama aktivis tersebut di pesawat.
Ibarat menonton film seri "Criminal Minds", laporan kepolisian dalam kasus ini sangat kuat dengan data dan fakta sehingga sulit dibantah oleh pelaku.
Hal itu terlihat dengan fakta call data record (CDR) yang lengkap mencantumkan nomor ponsel, registrasi, hingga IMEI yang menunjukkan pemilik (Ratna) dalam periode 20 hingga 24 September 2018 ternyata berada di Jakarta.
Data perbankan pun dibeberkan kepolisian dengan adanya transaksi detil khususnya ke Rumah Sakit Bina Estetika.
Hasil konfirmasi ke Rumah Sakit Bina Estetika menunjukkan Ratna ternyata dirawat di sana dan rekaman CCTV pada 24 September menunjukkan wanita tersebut meninggalkan rumah sakit tersebut.
Beredarnya laporan detail dari kepolisian di media sosial sepertinya membuat Ratna "keder".
Terbukti hanya hitungan belasan jam dari pertemuannya yang terkesan "mengadukan nasib" ke Prabowo, wanita ini mencabut cerita "penganiayaan" dan berubah menjadi pengakuan dirinya melakukan operasi plastik di Rumah Sakit Bina Estetika.
Wajahnya yang "bengap" rupanya akibat dari tindakan operasi plastik tersebut.
Polda Metro Jaya akhirnya resmi menahan Ratna Sarumpaet terkait penyebaran berita bohong atau hoaks soal penganiayaannya. Saat ditangkap, dia sedang berada di Bandara Soekarno Hatta pada Kamis 4 Oktober malam dalam perjalanan ke Chile.
Sekarang Ratna ditahan di rutan Mapolda Metro Jaya selama 20 hari ke depan dan harus menghadapi jeratan Pasal 14 UU Nomor 1 tahun 1946 tentang Hukum Pidana, serta Pasal 28 ayat 2 UU ITE.
Hikmah
Membaca rentetan kisah "Hoaks Ratna" menyadarkan fenomena post-truth society di dunia maya adalah nyata adanya.
Istilah post-truth menjadi populer ketika para penyunting Kamus Oxford menjadikannya sebagai word of the year tahun 2016.
Post-truth menunjukkan suatu keadaan di mana fakta obyektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik bila dibandingkan dengan emosi dan keyakinan pribadi.
Era post-truth dapat disebut sebagai pergeseran sosial spesifik yang melibatkan media arus utama dan para pembuat opini.
Fakta-fakta bersaing dengan hoaks dan kebohongan untuk dipercaya publik. Keriuhan orang untuk bersaing mengklaim kebenaran menjadikan fakta dan data kabur.
Setiap orang merasa dirinya (pasti) benar dan orang lain (pasti) salah. Setiap kelompok masyarakat mengonstruksi kebenaran menurut versinya, sesuai kepentingannya, dan meniadakan fakta. Opini dan tafsir terhadap fakta disemburkan untuk mengaburkan kenyataan.
Media mainstream pun yang dulu dianggap salah satu sumber kebenaran harus menerima kenyataan semakin tipisnya pembatas antara kebenaran dan kebohongan, kejujuran dan penipuan, fiksi dan nonfiksi.
Fenomena post-truth di Indonesia dapat meluas karena penggunaan media sosial yang tinggi, kondisi masyarakat yang gelisah, rendahnya kepercayaan publik, dan literasi yang rendah.
Post-truth tak akan selesai jika hanya mengandalkan pemerintah sebagai solusi, karena masyarakat memiliki porsi juga menyuburkan kondisi tak sehat ini.
Masyarakat bisa memulai menghindari kondisi post-truth dengan terus meningkatkan literasi dan selalu melakukan verifikasi terhadap informasi yang beredar sebelum menyebarkan ke media sosial.
Pemerintah pun harus bisa menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Melihat "kecepatan dan kecerdikan" kepolisian dalam mematahkan "cerita" yang dibangun Ratna, rasanya untuk beberapa kasus yang masih "gelap" di masyarakat harus segera dituntaskan agar kepercayaan publik kepada penegak hukum terus tumbuh dan menenggelamkan para penikmat "post-truth".
@IndoTelko