telkomsel halo

Menimbang revolusi pengelolaan frekuensi

12:47:35 | 21 Okt 2018
Menimbang revolusi pengelolaan frekuensi
Center For Indonesian Telecommunication Regulation Study (CITRUS) terus bersuara terkait perlunya perubahan drastis dalam mengelola frekuensi di Indonesia.

Lembaga kajian yang dikomandoi oleh Asmiati Rasyid ini sejak 2011 telah berteriak tentang perlunya revolusi dalam pengelolaan sumber daya alam terbatas itu agar optimal memberikan manfaatk ekonomi bagi negara dan rakyat.

Usulan yang dilontarkan adalah mendesak Presiden untuk mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-undang (Perpu) yang mengatur spektrum frekuensi.

Spektrum frekuensi radio adalah susunan pita frekuensi radio yang mempunyai frekuensi lebih kecil dari 3000 GHz sebagai satuan getaran gelombang elektromagnetik yang merambat dan terdapat dalam ruang udara dan antariksa.

Filosofi yang dijadikan pegangan CITRUS untuk keluarnya Perpu karena melihat belum ada undang-undang yang melaksanakan amanat pembukaan UUD 45 alinea keempat dan Pasal 33, dalam konteks alokasi dan penetapan spektrum frekuensi.  

Seperti diketahui, dalam UUD 45 dinyatakan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Jika dilihat memang belum ada aturan soal "udara" dalam hal ini.

Memang, Indonesia memiliki Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit. Namun, PP No 53/2000 itu bicara soal "penggunaan" dan tak maksimal bagi Citrus.

Hal lain yang disoroti Citrus adalah dalam aturan yang ada sekarang posisi seorang Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) sangat "Powerfull"  dalam penentuan alokasi frekuensi. Padahal urusan frekuensi ini multi stakeholders, mulai dari pertahanan, perhubungan, penyiaran, hingga telekomunikasi.

Akibat terlalu "Powerfull" peran menkominfo, maka diduga audit frekuensi atau pemberian lisensi pun menjadi tak transparan sehingga sumber daya alam terbatas dikuasai segelintir kelompok usaha. (Baca: Audit Frekuensi)

Badan Spektrum Nasional
Jika Perpu Spektrum Frekuensi dikeluarkan harus segera dibentuk Badan Spektrum Frekuensi Nasional sebagai institusi pengelola spektrum frekuensi lintas sektoral yang dipimpin oleh orang yang berkompeten, dan jujur dibawah presiden langsung.

Dalam kacamata Citrus, pembentukan badan ini adalah bentuk demokrasi substantif dimana mengatur yang berhak masuk mengelola dan menggunakan frekuensi. (Baca: Perpu Frekuensi)

Citrus pun menggulirkan ide perubahan izin spektrum frekuensi penyelenggaraan telekomunikasi seluler dari cakupan nasional menjadi izin per-circle yang akan diklasifikan sesuai dengan karakteristik suatu area/kawasan dan lingkungannnya.

Kebijakan seperti ini sudah diterapkan di India. Sehingga, harga izin di metropolitan akan berbeda dengan kota kecil. Demikian juga jumlah pemain per-circle bisa berbeda-beda. (Baca: Izin Frekuensi)

Perubahan kebijakan ini ditujukan untuk optimalisasi penggunaan spektrum frekuensi, membuka peluang pemain-pemain lokal, dan diharapkan akan meningkatkan PNBP lebih signifikan.

Jika idenya diterima, saran CITRUS adalah biaya Izin (license-fee) harus dibayarkan didepan (up-front fee) untuk periode 10 tahun dan perpanjangan izin harus dibayar sesuai harga pasar pada saat perpanjangan.

Setiap pemberian izin untuk komersial (Telekomunikasi, Internet, dan Penyiaran Radio/TV) juga diwajibkan membayar BHP Tahunan (annual-fee) yang dihitung dari pendapatan kotor (AGR).

Semua biaya izin yang dibayarkan ke pemerintah harus dikelola secara transparan dan akuntabel sesuai dengan pengelolaan prinsip good governance.

Struktur biaya izin spektrum frekuensi seperti tersebut di atas hanya akan mengurangi keuntungan penyelenggara dan tidak akan berdampak ke pengguna layanan (end-users) karena adanya kompetisi antar pemain.  

Kebijakan ini diyakini bisa mengantisipasi hoarding spektrum frekuensi karena ada  denda dikenakan atas kelebihan spektrum yang belum digunakan.

Tak mulus
Wacana yang tergolong progresif ini banyak mendapat tantangan sehingga tak pernah terealisir sejak digulirkan pada 2011.

Asmiati pun dalam pengakuannya menyatakan Menkominfo Rudiantara menegaskan soal frekuensi cukup dalam koordinasi Menkoperekonomian dan Bappenas.

Banyak Pengamat menyatakan, tak bisa melihat pengelolaan spektrum frekuensi seperti tanah. Jika dalam hukum argaria jelas luas dan panjang, maka di frekuensi yang digunakan rentang, ada juga interferensi.

Bagi kelompok penentang, Undang Undang No.36/1999 tentang telekomunikasi dan Peraturan Pemerintah No.53/2000 sudah cukup menunjang tata kelola frekuensi.

Apalagi, Indonesia telah memiliki Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) sehingga pembentukan Badan Frekuensi Nasional tidak dibutuhkan.

Asosiasi Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) pun mengingatkan pembentukan beleid baru jangan memberatkan operator.

Terlepas dari pro atau kontra, jika dikelola secara profesional spektrum frekuensi berpotensi menjadi sumber pendapatan negara yang signifikan untuk kesejahteraan negara.

Faktanya, selama 10 tahun (2006-2016), Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) spektrum frekuensi dari sektor telekomunikasi hanya Rp 100 triliun, bandingkan dengan India dalam lima tahun PNBP-nya Rp900 triliun hanya dari hasil lelang frekuensi belum termasuk annual fee.

Belum lagi jika bicara di penyiaran dimana sekelompok pengusaha menguasai frekuensi tetapi menyajikan konten hanya untuk melanggengkan kekuasaan dan usahanya.

Di Indonesia sekarang isu frekuensi menjadi hal strategis dalam mengembangkan mobile broadband yang hanya memiliki sekitar 425 MHz bandwidth efektif.

Tentunya untuk mencari solusi dari masalah ini diperlukan inovasi. Citrus sudah menawarkan solusi, terlepas penuh kontroversi, jangan pula menjadi antipati dengan menutup pintu perubahan sama sekali dan melanggengkan status quo.

Bukankah perubahan itu yang abadi?

GCG BUMN
@IndoTelko

Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
More Stories
Data Center Service Provider of the year